BerandaKulinary
Rabu, 4 Nov 2025 18:29

Menyelami Manisnya Sejarah Gudeg; Ikon Kesabaran yang Lahir dari Hutan Mataram

Gudeg, masakan khas Yogyakarta. (via Kecap Bango)

Gudeg bukan hanya nangka muda yang dimasak manis berjam-jam. Ia adalah ikon kesabaran Jawa, lahir dari hutan Mentaok saat Kerajaan Mataram Islam didirikan, kini menjadi simbol otentik Kota Yogyakarta.

Inibaru.id - Jika ada satu rasa yang merangkum ketenangan dan kehangatan Yogyakarta, itu adalah manisnya gudeg. Lebih dari sekadar hidangan berbahan nangka muda yang dimasak lama, gudeg telah menjadi julukan kota itu sendiri, penanda identitas yang otentik.

Setiap sendok gudeg yang kita nikmati bukan hanya soal santan dan gula merah, tetapi juga mengandung riwayat berabad-abad, mulai dari hutan yang dibuka Kerajaan Mataram hingga menjadi ikon pariwisata kuliner bersejarah. Gudeg adalah cermin jiwa Jawa yang sabar.

Tahukah kamu bahwa gudeg lahir dari kebutuhan prajurit di Alas Mentaok?

Yap, sejarah gudeg terjalin erat dengan momen kelahiran Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Kisah ini bermula ketika para prajurit Mataram ditugaskan untuk babat alas atau membuka hutan di Alas Mentaok, area yang kini menjadi cikal bakal pusat pemerintahan, sebagai bagian dari upaya pendirian kerajaan.

Di tengah keterbatasan logistik selama proses pembangunan, prajurit menemukan kelimpahan pohon nangka, kelapa, dan melinjo yang tumbuh liar di hutan yang baru dibuka. Untuk memanfaatkan hasil bumi ini secara efektif sebagai sumber pangan yang bergizi dan dapat diproduksi massal, mereka memasak nangka muda bersama santan dan bumbu rempah. Gudeg diciptakan sebagai solusi cerdas untuk memanfaatkan biomassa lokal yang berlimpah.

Proses pembuatannya yang unik, yakni diaduk terus-menerus hingga kental dan lembut, kemudian melahirkan namanya. Dalam bahasa Jawa, kegiatan mengaduk ini disebut Hangudek, dari sinilah nama gudeg berasal. Karena gudeg lahir bersamaan dengan pendirian kerajaan dan menjadi makanan utama para pendiri Mataram, ia segera tersemat sebagai simbol kemandirian dan fondasi Mataram.

Gudeg dengan cepat diangkat statusnya sebagai hidangan simbolik, bahkan disebut dalam sastra Keraton seperti Serat Centhini, dan disajikan sebagai hidangan nazar atau simbol rasa syukur.

Filosofi Kesabaran dalam Wajan Tanah Liat

Gudeg berbahan nangka muda yang dimasak lama. (Unsplash)

Jika gudeg lahir dari kebutuhan praktis para prajurit, maka ia bertahan berabad-abad karena nilai filosofisnya. Resep dasar gudeg menuntut proses yang sangat panjang. Nangka muda harus direbus dan dimasak dengan santan serta bumbu rempah menggunakan api kecil selama 4 hingga 6 jam, bahkan bisa seharian penuh.

Waktu pemasakan yang ekstrem ini, menurut filsafat Jawa, adalah pelajaran hidup yang berharga. Proses ini dipahami sebagai cerminan sempurna dari nilai ketenangan, kesabaran, dan teliti khas Jawa, yang berarti juru masak harus anti-sembrono dan tidak terburu-buru dalam mencapai hasil yang medok (kaya rasa).

Dalam perspektif antropologi makanan, masakan yang dimasak perlahan ini berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial dan mengajarkan harmoni bahwa hasil yang manis dan seimbang hanya bisa dicapai melalui proses yang lambat dan penuh perhatian. Gudeg mengajarkan kita bahwa hasil yang terbaik membutuhkan waktu.

Warisan gudeg terus dijaga hingga hari ini melalui sentra-sentra kuliner yang autentik. Sentra Gudeg Wijilan, misalnya, adalah pusat wisata kuliner populer yang telah eksis sejak tahun 1942, di mana para pedagang mewarisi resep dan teknik memasak gudeg secara turun-temurun, memastikan keaslian cita rasa tetap terjaga.

Tempat ini menjadi bukti nyata kontinuitas gudeg sebagai ikon Wonderful Otentik Jogja. Dari tangan prajurit di Alas Mentaok, gudeg telah bertransformasi menjadi kuliner legendaris yang menguatkan citra Yogyakarta. Ia adalah simbol abadi kemandirian, sejarah Mataram, dan ketenangan jiwa Jawa.

Bukan cuma rasa yang nikmat, gudeg ternyata menyimpan kisah yang menarik ya, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)


Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: