Inibaru.id – Perkebunan kopi di Kudus harusnya sudah ditiadakan pada 1925, nggak lama setelah sistem tanam paksa dihapuskan dan kawasan tersebut dinormalisasi jadi hutan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kebun kopi kian meluas, khususnya di kawasan hutan di Desa Japan dan Colo.
Bahkan, penetapan sebagai hutan lindung pada 1972 nggak membuat perkebunan kopi lenyap dari desa yang berlokasi di Kecamatan Dawe ini. Tanaman kopi sudah terlanjur menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Sayang, keberadaan kebun kopi yang tumbuh di bawah naungan hutan lindung tersebut kini justru terancam karena sebagian anak muda kurang tertarik menjadi petani kopi. Di sisi lain, para petani mengeluhkan harga biji kopi mentah alias green bean yang dibeli tengkulak dengan harga rendah.
Nah, berangkat dari kegalauan itulah pada 28 Maret 2018 lalu Komunitas Kopi Muria (KKM) berdiri. Ato Pujiharto, sang ketua, menuturkan, komunitas ini dibuat agar kopi lereng Muria yang sudah ada dari zaman ke zaman bisa terus dirasakan oleh generasi berikutnya.
“Bagaimana agar kopi (Muria) ini punya nilai tambah, jadi bisa memupuk semangat para petani dan generasi penerus nanti,” ujar Ato, sapaan akrabnya.
Dalam memenuhi tujuan itu, KKM mencoba mengedukasi petani gimana cara mengelola biji kopi pascapanen. Menurut Ato, hal ini penting dilakukan agar para petani nggak lagi sekadar menjual hasil panen dalam bentuk biji mentah.
“Selama ini, setelah panen raya, mereka buru-buru menjual (biji kopi mentah) ke tengkulak," kata dia. "Kalau begitu terus, nggak ada nilai tambah.”
Selain edukasi, Ato menambahkan, KKM juga menyediakan alat pendukung seperti mesin roasting dan penggiling kopi. Nggak lupa, komunitas itu juga mengajarkan cara mengemas produk yang baik. Dengan begitu, lanjutnya, para petani bisa merasakan nilai lebih.
Menaungi Ratusan Petani
Hingga saat ini, KKM telah sudah memiliki puluhan anggota serta menaungi ratusan petani. Ato mengatakan, nggak kurang dari 430 petani kopi di Desa Japan dan Colo berada di bawah komunitas tersebut.
"Ya, banyak, meski (anggota) yang hanya mungkin sekitar 10 orang," akunya.
Dari kebun mereka, imbuhnya, para petani kini mulai membuat jenama sendiri. Kurang lebih ada 10 produk yang ada di bawah naungan KKM, di antaranya Kopi Maura, Kopi Tjolo, Kopi Moelyo, Kopi Zayna, Kopi Otentik, Kopi Nyampleng, Kopi Aiss, Kopi Tawang, Kopi Muraco, Kopiloso, dan Kopi Ndaoleng.
Kendati sama-sama menjual kopi, Ato mengatakan, masing-masing produk memiliki karakter berbeda dengan aftertaste yang juga unik. Produk-produk tersebut, lanjutnya, ada yang mempunyai aftertaste caramel, cokelat, spicy, winery, woody, nutty bahkan durian.
Jadi, meski sama-sama memproduksi kopi kemasan, para anggota komunitas nggak khawatir akan persaingan, karena setiap produk sudah memiliki penggemar dan pasar masing-masing.
Oya, bicara kualitas, KKM juga pernah melakukan uji cupping yang diadakan Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (SCAI-Specialty Coffee Association of Indonesia). Ritual cupping ini untuk biasa dilakukan menentukan seberapa optimal karakter rasa suatu biji kopi. Hasilnya? Kualitas Excellent, lo!
Dikenal Lebih Luas
Humas Komunitas Kopi Muria Aris Yulianto berharap, keberadaan komunitas yang diikutinya itu mampu menjadikan kopi Muria dikenal lebih luas dan dilirik dunia.
Lelaki yang juga menjabat sebagai pengurus Kelompok Tani Hutan Muria Koentjen Rejo ini berangan-angan, nama kopi Muria nantinya bisa sejajar dengan kopi Gayo dan Toraja.
“Visi kami, bagaimana mengembangkan kopi Muria sebagai produk wisata dunia,” ungkapnya.
Perlahan, angan-angan itu sepertinya mulai terwujud. Selain sempat mengikuti pameran di Singapura, produk kopi mereka juga mulai masuk pasar Asia. Kini, pekerjaan besar yang mungkin masih menanti KKM adalah membuat anak muda tertarik mengenal kopi dari hulu ke hilir.
Anak muda, tantangan buat kamu nih! Kalau ngaku penikmat kopi, jangan sekadar menjadi barista, apalagi sekadar jadi penikmat kopi di kala senja, di kafe-kafe temaram, dan berteman dengan musik indie! Ha-ha.(Rafida Azzundhani/E03)