Inibaru.id – Seberharga apa pun sebuah warisan budaya akan sia-sia ketika mulai dilupakan. Nggak terkecuali wayang. Kendati UNESCO menyebutnya sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, predikat tersebut bakal muspra saat nggak ada lagi generasi yang melestarikannya.
Namun, agaknya kita bisa sedikit lega. Di tengah sebagian besar orang yang mulai abai dengan dunia pewayangan lantaran dianggap usang dan kurang menghibur, rupanya masih ada anak muda yang tertarik pada seni pertunjukan klasik tersebut, salah seorang di antaranya Putranda Ekky Prananda.
Nggak sekadar gemar menonton pergelaran wayang, Ekky, sapaan akrabnya, kini juga dikenal sebagai pengrajin "boneka" dua dimensi yang dipercaya sudah dimainkan masyarakat Jawa sejak abad ke-4 tersebut. Dia bahkan telah mulai membuatnya sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar.
“Bapak dan simbah (kakek) sering ngajak nonton wayang sejak saya TK, terus kepengin punya wayang sendiri," tutur pemuda yang masih berstatus mahasiswa semester akhir di Universitas Negeri Semarang tersebut, Minggu (22/8/2021). "Mau beli, boros. Jadilah saya coba bikin pakai kertas karton."
Berawal dari situ, Ekky mulai rajin membuat wayang sendiri. Kala itu, dia belum berpikir tentang pakem-pakem yang harus dipenuhi dalam pembuatan wayang; semuanya kreasi sendiri. Pembuatan wayang yang sesuai standar pakem pedalangan baru dia lakukan saat remaja.
"Pas SMA mulai mengikuti pakem. Bentuk dan bahan wayang seusai pakem. Yang saya kreasikan model motif sandangannya saja,” terang lelaki 23 tahun tersebut.
Wayang di Mana-Mana
Di rumahnya yang berlokasi di daerah Pudakpayung, Kota Semarang, kentara sekali kalau Ekky dan keluarganya sangat menyukai kesenian Jawa, khususnya pewayangan. Paling kentara tentu saja pakeliran (panggung) lengkap dengan kelir dan gawangan yang terbentang pada salah satu sisi di bagian depan rumahnya.
Pakeliran dengan banyak ukiran ini agaknya juga berfungsi sebagai dekorasi rumah. Laiknya sebuah pementasan, sejumlah wayang juga tampak "berdiri" di atas tancepan. Wayang-wayang hasil kreasi Ekky ini sengaja dipajang di situ, karena bagian rumah tersebut memang berfungsi sebagai sanggar.
Di rumah Ekky, wayang bisa kamu temukan di banyak sudut di rumahnya. Sejak kecil dia hidup di keluarga yang menggemari budaya Jawa, khususnya wayang. Pada satu sisi, ini menyenangkan. Namun, dia merasa situasi tersebut membuatnya agak jauh dari teman sepermainan.
“Dicengin (diolok) karena suka wayang nggak pernah, tapi waktu SMP dan SMA saya nggak begitu nyambung kalau ngobrol dengan teman," kenangnya. "Saya aktif di (perkumpulan seni budaya) Sobokartti juga. Jadi, (sama teman) ya ngobrol masalah tugas saja.”
Ekky mengaku sejak dulu nggak terlalu ambil pusing dengan anggapan miring yang mungkin dilontarkan orang karena dia memilih mencintai wayang. Lelaki 23 tahun itu justru bangga disebut demikian karena menurutnya, menjadi pengrajin wayang berarti turut berperan dalam pelestarian budaya Indonesia.
Baca Juga:
Lebih Dekat dengan Asem Kawak, Komunitas Penjual Barang Antik yang Kerap Ganti Nama dan LokasiDalam pandangannya, generasi muda seharusnya turut serta dalam melestarikan warisan budaya ini, bukan malah antipati dan menganggap wayang sebagai budaya "cap orang tua". Menurutnya, keliru kalau menganggap wayang sebagai sesuatu yang kuno.
“Cerita wayang selalu mengikuti perkembangan zaman dan relate dengan kehidupan sehari-hari,” simpul mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa tersebut.
Belasan Tahun Mengukir Wayang
Tanpa terasa Ekky sudah belasan tahun menjadi pengrajin wayang. Selama melakoni "pekerjaan" itu, dia telah melalui banyak hal. Sebagai pembelajar, lelaki berkulit cerah inimengaku mendapatkan begitu banyak ilmu baru yang membentuknya menjadi sosok yang sekarang.
Mulai dari membuat wayang dengan bahan dasar kertas karton, dia beralih ke kardus, lalu fiber. Kini, dia sudah membuat wayang dengan kulit asli. Ekky memilih memakai kulit kerbau sebagai bahan utama pembuatan wayang untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
“Sekarang selalu pakai pakem pedalangan, jadi bahannya ya kulit kerbau. Ini biasa untuk dalang dan kolektor. (Wayang) berbahan kertas masih bikin, tapi hanya untuk pajangan. Yang pesan biasanya instansi,” jelas Ekky sembari memperlihatkan beberapa wayang bikinan tangannya.
Dalam menciptakan wayang, Ekky nggak suka nanggung. Pemilihan bahan hingga motif wayang betul-betul dia pikirkan dengan saksama. Jika kebanyakan pengrajin saat membuat wayang umumnya hanya membedakan warna dasar pakaiannya, nggak demikian dengan Ekky.
"Semua wayang yang saya bikin digambar dengan motif yang berbeda," terangnya, yang sekaligus menjawab kenapa wayangnya sangat diburu para dalang dan kolektor wayang dari mancanegara.
Ekky mengaku senang lantaran banyak pihak yang mengapresiasi karya-karyanya tersebut. Kendati pernah beberapa kali bertemu kolektor "unik" yang banyak bertanya dan terkesan mengkritik karyanya, dia justru menganggapnya sebagai suatu apresiasi.
“Kalau ketemu pembeli model kolektor, mereka memang suka nritik (detail) di wayangnya, entah itu ukiran, motif, dan gapit (penjepit) yang terpasang,” pungkasnya, lalu tertawa lepas..
Tetap semangat, Ekky! Karya seni nggak akan mati, seniman juga bakal terus dikenang selama karya-karyanya banyak yang menikmati. (Kharisma Ghana Tawakal/E03)