Inibaru.id - Awalnya saya tahu Andy Sueb adalah personel dari grup musik eksperimental “Tridhatu”. Saya iseng membuka akun Instagramnya, ternyata dia bukan musikus seperti yang saya kira. Dia lebih seperti pelukis dan desainer visual. Beberapa produk besar bahkan terlihat menggunakan jasanya. Kemudian saya mengunjungi kediamannya pada Kamis (19/12).
Hidup di Semarang dan menjadi seniman menurut saya jauh dari berkecukupan. Tapi hal ini dibantah oleh Andy.
“Bisa saja. Nyatanya hidup saya baik-baik saja. Masih bisa ngopi duduk-duduk tenang dan mencukupi kehidupan keluarga,” kata Andy
Sueb. Jujur, saya nggak langsung percaya dengan omongan pria ini. Sesusah apa pun, kalau untuk orang yang bersyukur tentu saja akan bilang hidupnya baik-baik saja.
Namun setelah obrolan panjang, dia menyebutkan
produk dan tempat mana saja yang pernah menggunakan jasanya. Merk kaus PRGL, desain album musik dari Figura Renata, The Last
Theree dan Dendy Nata merupakan hasil tangan dinginnya. Nggak cuma itu. Kafe
Atlas & Co., Bawa Daku Pergi, Kafe Manakala dan beberapa kafe lain juga memakai jasanya.
Andy Sueb nggak menyebutkan harga secara konkrit. Dia hanya bilang berbeda-beda. Tergantung bagaimana negoisasinya. Lalu untuk memuaskan rasa penasaran yang masih gatal, saya nanya saja berapa harga lukisannya.
“Paling murah Rp 8 sampai 10 juta,” ujar Andy Sueb sambil
menunjuk lukisan yang ada di studionya. Mulai dari sini saya jadi sepenuhnya
percaya terhadap perkataannya “hidupnya baik-baik saja” tadi. He
Menurut Andy Sueb, genre lukisannya bernama “Art Brut”. Yang saya tangkap, teknik menggambarnya nggak kaku.
“Menurut saya idealis dan realistis itu nggak ada bedanya. Tinggal bagaimana kita menempatkannya. Misal klien saya meminta gambar yang seperti ini, ya saya akan memberikan gambar dengan ciri khas saya. Dari semua hasil desain saya untuk klien, pasti ada yang menunjukan ciri khas saya,” jelasnya.
Dalam menapaki kehidupan sebagai seniman di Semarang, dia mengaku nggak mudah. Namun, kesulitan itu pun patut disyukuri, karena secara nggak langsung akan memberi tempaan tersendiri.
“Ingat saja kata Tan Malaka, ‘Terbentur, terbentur, terbentuk’. Itulah yang selama ini saya lakoni. Dengan segala keterbatasan Semarang, malah akan menempa. Sehingga kalau di luar sana kita bisa jadi lebih hebat. Orang biasa hidup terbatas kok. Beda kalau di Jogja yang serba ada. Terlalu nyaman,” ujarnya.
Satu hal yang bikin saya tercengang, selepas SMA Andy Sueb sebetulnya sudah bekerja di sebuah perusahan Real Estate. Di sana dia sebagai desainer bangunan. Namun dia memutuskan untuk resign dan kuliah di jurusan Seni Rupa Unnes pada 2010.
“Sebetulnya waktu itu gajinya lumayan besar. Tapi hidup saya jadi terlalu nyaman. Akhirnya saya milih kuliah saja,” ungkapnya.
Menjadi seniman di Semarang yang konon katanya “kuburan seni” ini mungkin cukup berat. Namun Andy Sueb berpesan kepada para seniman muda agar jangan takut berkesenian di Semarang.
“Jangan pernah khawatir berkesenian di Semarang. Kamu akan tertempa. Dan bagi orang yang sudah memiliki bakat, jangan bangga. Karena bakat akan kalah dengan seseorang yang punya tekad,” tandasnya.
Dengerin tuh, Millens, apa kata Andy Sueb. Jadi, jangan takut berkesenian di Semarang ya. (Audrian F/E05)