BerandaHits
Sabtu, 5 Agu 2022 11:10

Suramnya Nasib Petani Garam di Pantai Dadapayam Gunungkidul

Para petani garam di Pantai Dadapayam, Gunungkidul, Yogyakarta sudah menghentikan aktivitas produksi garam sejak 2021. (Sorotnuswantoronews)

Petani garam di Pantai Dadapayam, Gunungkidul, DIY, menyerah. Mereka menutup tempat produksi garamnya karena nggak lagi menguntungkan.

Inibaru.id - Melihat tingginya konsumsi garam di Indonesia, seharusnya petani garam nggak perlu kebingungan menjual hasil produksinya. Nyatanya, nasib petani garam di Tanah Air semakin tidak jelas. Hal ini dibuktikan dengan berhentinya produksi garam yang ada di Pantai Dadapayam, Gunungkidul, Yogyakarta

Laporan per 2020 lalu, kebutuhan garam untuk dikonsumsi atau industri di Indonesia mencapai 4,5 juta ton per tahun. Jumlah ini jauh melampaui produksi garam di Indonesia yang hanya 1,26 juta ton per tahun. Seharusnya, kebutuhan garam yang besar membuat petani bisa menjual garamnya dengan harga kompetitif. Nyatanya, hal ini nggak terjadi.

Para petani garam di Pantai Dadapayam, Pedukuhan Gebang, Kalurahan Kanigoro, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta, sudah membiarkan lahan pengelolaan garamnya nggak produktif. Biaya operasional yang tinggi membuat mereka nggak lagi melihat masa depan cerah dari garam yang sebelumnya jadi sumber mata pencaharian mereka.

Tunel-tunel dari bahan plastik yang dulu dipenuhi garam kini ditinggalkan begitu saja dengan atap yang sudah rusak. Selang-selang yang dulu dipakai untuk menyedot air laut pun sudah semakin "tenggelam" di tengah rimbunnya rerumputan.

Menurut keterangan dari Ketua Kelompok Budidaya Garam Dadap Makmur Triyono, aktivitas produksi garam di Pantai Dadapayam berhenti sudah sejak 2021.

“Sudah nggak ada lagi kegiatan sejak tahun lalu. Pengelolaannya sudah dikembalikan ke Kalurahan. Kelompok sudah mengundurkan diri,” ujar Triyono, Selasa (2/8/2022).

Hasil penjualan garam nggak bisa mengimbangi biaya operasional produksinya. Selain itu, garam dari petani ini mempuyai standar kesehatan yang rendah. (Yogya.inews)

Standar Kesehatan Rendah

Sekretaris Badan Usaha Milik Kalurahan (BUMKal) Giridipta Kalurahan Kanigoro Suyatno menjelaskan kalau hasil penjualan garam sudah nggak lagi mengimbangi biaya operasional produksi. Ditambah dengan hasil dari penelitian tim Dinas Kelautan dan Perikanan DIY yang menyebut standar kesehatan garam yang diproduksi dari tempat tersebut rendah. Melihat kenyataan itu, kelompok petani pun menyerah.

“Kendalanya karena kita hanya mengandalkan dari hasil jual garam. Padahal, standar kesehatannya juga nggak lolos. Garamnya nggak bisa memasuki pasar,” keluh Suyatno.

Garam-garam tersebut kemudian hanya bisa dijual ke sesama petani atau ke peternak. Harganya pun sangat murah, yaitu Rp 1.000 per kilogram. Padahal, jumlah kelompok petani yang memproduksi garam hanya 40-an orang. Otomatis, banyak garam yang akhirnya nggak terjual.

“Masyarakat juga tidak berani mengonsumsi garam tersebut, karena garam itu sangat asin, tidak masuk dalam standar kesehatan. Karena itu, kelompok petani garam menyerah,” pungkas Suyatno.

Suramnya nasib petani garam di Pantai Dadapayam juga terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia. Masih tingginya impor garam dari luar negeri membuat mereka nggak bisa menjual garamnya dengan harga yang menguntungkan.

Wah, sedih ya kalau mendengar cerita dari petani garam ini? Semoga segera ada solusi terbaik bagi mereka! Dan semoga Indonesia bisa memenuhi kebutuhan garam tanpa harus mendatangkannya dari luar negeri. (Tin,Kat,Det/IB09/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024