Inibaru.id - Daerah pesisir di utara menjadi wilayah paling rawan di Kota Semarang karena rob, banjir yang disebabkan oleh arus pasang air laut, bisa datang kapan saja. Nggak berhenti di situ, wilayah landai ini rupanya mengalami ancaman lain, yakni polusi yang disebabkan oleh sampah kiriman dari hulu.
Topografi Semarang yang terdiri atas dataran tinggi di selatan dan terus melandai ke utara hingga berbatasan dengan Laut Jawa memungkinkan sampah yang terhanyut ke sungai menumpuk di bibir pantai. Inilah yang terjadi di Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari.
Kalau pernah bertandang ke "Kampung Nelayan" ini, kamu pasti bisa melihat hamparan sampah, yang didominasi plastik, terbentang di sepanjang bibir pantainya. Bukan karena warganya yang jorok, tapi masyarakat setempat mengatakan, sampah-sampah ini datang dari selatan.
Selatan yang mereka maksud adalah wilayah dataran tinggi. Warga menyebutnya "Semarang Atas". Charis, salah seorang penduduk lokal mengatakan, sampah itu nggak cuma buangan warga, tapi juga kiriman dari hulu melalui Banjir Kanal Timur (BKT).
Sejak BKT direvitalisasi beberapa tahun lalu, aliran air di sistem drainase peninggalan Belanda yang membentang dari kota hingga pesisir ini menjadi lebih lancar. Namun, selain membawa air, kanal banjir buatan 1897 itu rupanya juga membawa serta sampah yang terhanyut dari kota ke pesisir.
"Seingat saya, intensitas sampah yang terhanyut dari BKT mulai meningkat sekitar 2016," ucap lelaki yang berprofesi sebagai nelayan itu kepada Inibaru.id, belum lama ini. "Sampah-sampah itu berakhir menumpuk di pantai Tambakrejo."
Mengancam Profesi Nelayan
Sebagai seorang nelayan, Charis mengaku cemas melihat sampah-sampah tersebut kian menumpuk dari hari ke hari. Meski beberapa kali dibersihkan Dinas Lingkungan Hidup, warga setempat, dan pegiat lingkungan, keberadaan sampah itu nggak pernah surut.
"Saya takut sampah yang didominasi plastik itu berdampak buruk bagi ekosistem laut di Tambakrejo. Kalau habitat satwa laut rusak, saya sebagai nelayan bisa-bisa kehilangan mata pencaharian," terang warga RT 06 RW 16 Kelurahan Tambakrejo tersebut.
Charis yang mendiami desa nelayan ini sedari kecil tahu betul perubahan yang terjadi di Tambakrejo, termasuk "banjir sampah" yang beberapa tahun terakhir semakin menjadi-jadi. Sayangnya, dia dan warga setempat nggak bisa berbuat banyak, terlebih saat musim hujan tiba.
"Kalau wilayah kota banjir, sepengetahuan saya sampah yang terbawa ke sini bisa sekitar dua ton. Ini baru yang tampak di permukaan, belum lagi yang di bawah air," keluh lelaki energetik tersebut.
Baling-Baling Terbelit Sampah
Menurut Charis, keberadaan sampah di desanya sudah masuk tahap mengganggu. Selain menimbulkan gangguan kesehatan, sampah plastik yang bertebaran di kawasan itu juga membuat dia kerepotan menjalani pekerjaan sehari-harinya sebagai nelayan.
"Berkali-kali mesin perahu saya ngadat karena baling-balingnya terbelit sampah," ujar pemuda yang mengaku sudah belasan tahun menjadi nelayan tersebut. "Kalau sudah begitu, perjalanan melaut dipastikan bakal terhambat, sih!"
Nggak hanya membelit baling-baling, sampah plastik yang terhanyut ke laut juga kerap nyangkut di jaringnya. Jadi, alih-alih mendapatkan ikan, pemuda 24 tahun ini mengaku beberapa kali justru mendapati sampah di jaring yang ditebarnya.
"Pernah suatu kali saya narik jaring yang berisi sampah semua, nggak ada ikannya, padahal berat. Kan kesal, ya?" seru Charis, lalu tersenyum getir.
Dari pengalaman buruk itu, dia berharap pemerintah memberikan solusi dengan lebih serius menangani pengelolaan sampah di wilayah kota yang ditudingnya bertanggung jawab atas tumpukan sampah di Tambakrejo.
"(Pemerintah) harus lebih tegas agar kami, para nelayan di Tambakrejo, nggak mendapatkan getah (dari pengelolaan sampah yang kurang baik di kota)," desaknya.
Nggak hanya pemerintah, pengendalian sampah di wilayah perkotaan juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai penghuninya. Ingat, bungkus permen yang kita buang sembarangan bisa saja menjadi awal dari bencana besar di pesisir, lo, Millens! (Fitroh Nurikhsan/E03)