Inibaru.id - Nggak mudah memang menyesuaikan diri dengan rutinitas baru. Orang-orang ini misalnya. Mereka sempat mengalami shock culture selama masa WHF.
Maklum, semua aktivitas telah berlangsung selama tahunan sehingga membentuk pola pasti. Ketika hal itu harus berubah tiba-tiba, kelimpungan jadinya.
Perbedaan rutinitas yang cukup njeglek ini dirasakan oleh Dian, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Grobogan.
“Ya terbiasa kerja, di rumah terus bosan. Kadang lupa hari,” ungkapnya melalui aplikasi pesan singkat (19/4).
Dian menjelaskan, selama masa pandemi dirinya hanya berangkat ke sekolah seminggu sekali saat ada jadwal piket atau keperluan penting. Sebagai guru BK, dirinya kini melayani konseling secara daring. Selain itu, Dian kini jadi lebih banyak menghabiskan waktu di dapur dan mengurus anak.
Lain halnya dengan cerita Anis, seorang penjaga toko emas di Kota Surakarta. Dirinya mengaku sejak Kota Surakarta melaksanakan karantina wilayah, porsi kerjanya berkurang menjadi dua hari kerja satu hari libur.
Karena perubahan yang sangat drastis ini, Anis pernah panik gara-gara bangun kesiangan. Dia mengira sudah terlambat kerja.
“Sering kaget, bangun-bangun dikira kesiangan padahal libur,” ungkapnya melalui aplikasi pesan singkat (21/4).
Lebih sering libur juga membuat Anis yang berasal dari Grobogan ini memiliki kebiasaan baru yaitu rebahan. Tentu Anis merindukan rutinitas lamanya sampai-sampai terbawa mimpi.
“Pernah mimpi sudah berangkat kerja, padahal libur,” ungkapnya lagi.
Tampaknya "penderitaan" Anis akan merembet pada hal lainnya. Pasalnya, dia diminta orang tuanya di kampung untuk nggak mudik lebaran dulu. Rasa sayang pada keluargalah yang membuatnya mematuhinya.
“Aku nggak mudik, disuruh ibu di sini (Surakarta) dulu, masih bahaya,” tambahnya.
Demi bertahan di kota perantauan, Anis berjanji akan segera menyesuaikan diri dengan tetek bengek akibat pandemi.
Kalau kamu gimana, Millens? (Julia Dewi Krismayani/E05)