Inibaru.id - Banjir rob masih memenuhi hampir seluruh kampung di bilangan Tambaklorok, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, pada Sabtu (6/6/2020). Tercatat, telah lebih dari sebulan warga setempat bergelut dengan luapan air laut tersebut.
Namun, kehidupan nggak bisa berhenti. Di tengah kepungan rob, mereka memilih "berdamai" dan tetap beraktivitas, tentu saja dengan kaki-kaki keriput lantaran selalu basah menerjang air asin nan pekat bercampur sampah. Jujur, sedih sekali saya melihatnya.
Hari masih pagi saat saya bertemu Fatma, warga Tambaklorok. Di ujung sebuah gang, ibu rumah tangga itu langsung menumpahkan kesedihannya. Menurutnya, genangan air pada pagi hari belum terlalu tinggi, lebih kentara menjelang sore.
"Ini (rob) terparah," tutur perempuan yang mengaku rumahnya selalu kemasukan air tersebut. "Dari sore sampe bangun tidur air belum juga surut.”
Sembari menunjuk ke arah dalam, Fatma mengatakan bahwa banjir yang lebih parah ada di tengah kampung. Mengindahkan saran itu, saya segera mendapati debit air yang memang lebih tinggi. Kian ke dalam, Kampung Tambaklorok memang semakin berdekatan dengan laut.
"Rob (di Kampung Tambaklorok) sudah datang sejak awal puasa," keluh Fatma. Berarti, sudah lebih dari satu bulan warga setempat bertahan hidup di tengah genangan air laut.
Pernyataan Fatma diiyakan Puji Agustin, warga yang tinggal agak ke dalam kampung. Puji punya sebuah kios kecil yang sebagian besar sudah terendam rob. Rumahnya memang cuma sepelemparan tombak dari batas kampung dengan laut.
Selama sebulan terakhir rumahnya terendam, dia pun memilih pasrah. Di dapur yang terendam setinggi lutut orang dewasa, Puji meletakkan kompornya agak tinggi supaya bisa tetap memasak saban hari. Keterbatasan dana membuatnya nggak bisa berpikir untuk meninggikan lantai rumah.
“Kalau punya duit, ya, bisa langsung meninggikan rumah. Kalau saya, bisa makan sehari-sehari saja sudah bagus!” ketusnya.
Bantuan Belum Maksimal
Selama tergenang rob, Puji mengatakan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah belum maksimal. Menurutnya, sempat ada bantuan dari kelurahan berupa makanan, tapi nggak diserahkan secara langsung. Ini membuat orang yang nggak terdampak pun bisa turut mengambil bantuan.
“Kalau dari Pemkot Semarang mungkin hanya bantuan Covid-19,” kata dia.
Sriana, seorang warga lain yang saya temui sebelum pulang, mengeluhkan kakinya yang belakangan sering terkena penyakit kulit. Berkali-kali dia mengalami gatal-gatal. Menurutnya, itu merupakan imbas dari seringnya dia terkena air rob.
Sepanjang saya melintas, genangan air rob memang tampak berwarna cokelat pekat bercampur dengan sampah. Sekali lihat, siapa pun bakal menyimpulkan air ini bisa menjadi sarang penyakit.
Nggak hanya penyakit kulit, di tengah pandemi corona seperti sekarang, buruknya kondisi lingkungan tersebut juga membuat warga Tambaklorok lebih rentan terjangkit virus corona. Ini pula yang dikeluhkan Sriana.
Selama pandemi, dia juga mengaku khawatir terjangkit virus yang menyerang melalui sistem pernapasan tersebut. Namun, nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain bertahan hidup.
“Mau pindah juga ke mana, lha wong rumah saya di sini. Kalau pun harus pindah, ya nunggu gusuran,” aku perempuan yang suaminya bekerja sebagai nelayan tersebut, pasrah.
Ah, sedih, Millens! Berdamai dengan cara sepasrah itu sungguh menyakitkan, sih. Semoga keadaan segera membaik! (Audrian F/E03)