Inibaru.id - Asal kasih perintah, naskah langsung jadi. Tapi, apakah semua itu bikin kita jadi makin pintar? Ternyata nggak juga. Sebuah studi anyar dari MIT Media Lab justru bilang, kebiasaan ngetik prompt ke ChatGPT bisa bikin otak kita jadi ‘males mikir’. Waduh!
Dalam riset berjudul “Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task” yang dirilis Kamis (19/6/2025), peneliti Nataliya Kosmyna menyoroti dampak pemakaian AI dalam tugas menulis.
Menurutnya, meskipun teknologi ini membuka akses informasi dan pembelajaran yang luas, penggunaannya tetap harus dikaji karena bisa memengaruhi kemampuan berpikir kritis dan kemandirian intelektual.
"Meskipun alat-alat ini menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk meningkatkan pembelajaran dan akses informasi, potensi dampaknya terhadap perkembangan kognitif, pemikiran kritis, dan kemandirian intelektual memerlukan pertimbangan dan penelitian yang berkelanjutan," tulis peneliti Nataliya Kosmyna.
Makin Sering Pakai, Makin Turun Aktivitas Otak
Ngomong-ngomong, studi ini melibatkan 54 peserta usia 18–39 tahun dari Boston, Amerika Serikat. Mereka diminta menulis esai ala standar SAT dan dibagi menjadi tiga kelompok: satu pakai ChatGPT, satu pakai mesin pencari seperti Google, dan satu lagi murni mengandalkan otak sendiri.
Tim peneliti memantau aktivitas otak para peserta lewat alat EEG (electroencephalography). Hasilnya? Kelompok yang pakai ChatGPT tercatat punya aktivitas otak paling rendah. Nggak cuma itu, performa mereka juga dinilai buruk dari segi bahasa, perilaku, hingga kerja saraf.
Yang bikin geleng-geleng kepala, makin lama studi berlangsung, peserta yang mengandalkan ChatGPT justru makin males. Di akhir riset, banyak yang cuma copy-paste jawaban dari AI tanpa sentuhan pribadi.
Sementara itu, dua guru Bahasa Inggris yang diminta menilai hasil esai para peserta bahkan menyebut tulisan dari kelompok ChatGPT “nggak berjiwa”. Kenapa? Karena ekspresi dan ide yang muncul terkesan seragam dan datar. Banyak peserta hanya kasih perintah seadanya, kayak “bikinin esai”, “rapikan kalimat ini”, lalu selesai.
Berbeda dengan mereka yang menulis pakai otak sendiri. Kelompok ini menunjukkan koneksi saraf lebih kuat, terutama dalam hal kreativitas dan daya ingat. Esai mereka juga dinilai lebih orisinil dan punya rasa kepemilikan tinggi sedangkan kelompok yang pakai mesin pencari menempati posisi tengah: cukup aktif secara kognitif, tapi tetap di bawah kelompok tanpa alat bantu.
AI Bisa Berguna dengan Catatan
Menariknya, ketika kelompok “tanpa alat bantu” diminta menulis ulang esai mereka dengan bantuan AI, hasilnya justru positif. Aktivitas otak meningkat dan esai mereka jadi lebih kaya. Artinya, kalau sudah punya dasar yang kuat, pemanfaatan AI justru bisa memperkuat hasil belajar.
Sebaliknya, peserta yang awalnya pakai ChatGPT dan diminta menulis ulang tanpa bantuan AI malah kelimpungan. Mereka hampir nggak ingat apa yang pernah ditulis dan aktivitas otaknya lebih lemah.
Kosmyna mengingatkan bahwa studi ini masih tahap awal, belum melewati peer review, dan melibatkan sampel kecil. Tapi tetap saja, temuannya jadi alarm penting di tengah makin intensnya penggunaan AI berbasis teks di kehidupan sehari-hari.
Hm pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi, kalau kita terlalu bergantung malah lupa caranya mikir. Bisa-bisa kita cuma jadi penumpang di otak sendiri. Yuk, tetap latih kritis dan jangan cuma andalkan prompt, ya, Millens! (Siti Zumrokhatun/E10)
