Inibaru.id - Di dunia yang serba cepat dan penuh pilihan transportasi instan, kisah Karl Bushby terasa seperti anomali. Saat banyak orang mengukur jarak dengan jam penerbangan atau notifikasi peta digital, pria asal Inggris ini memilih cara paling purba, yaitu berjalan kaki. Yang lebih gila, dia nggak melakukan jalan kaki biasa, melainkan berjalan keliling dunia selama hampir tiga dekade.
Karl Bushby memulai langkahnya pada 1 November 1998 dari Punta Arenas, Chile. Saat itu usianya 29 tahun, dengan rencana awal menuntaskan perjalanan dalam waktu 12 tahun. Kenyataannya jauh berbeda. Kini, setelah 27 tahun berlalu dan usianya mencapai 56 tahun, ia masih berada di tengah perjalanan.
Bedanya, garis akhir sudah dekat. Dari posisinya sekarang di Hungaria, Bushby tinggal menempuh perjalanan sekitar 1.500 kilometer lagi menuju Hull, kota kelahirannya di Inggris, tempat ibunya menunggu sejak lama. Diperkirakan, dia bakal pulang kampung pada September 2026, Gez.
Ekspedisi ini dikenal sebagai Goliath Expedition, sebuah perjalanan ambisius tanpa kendaraan bermotor apa pun. Total jarak yang sudah ia tempuh mendekati 49.900 kilometer, melewati 25 negara, lintas benua, dan lanskap ekstrem. Ia berjalan di gurun yang gersang, hutan tropis yang lembap, tundra Siberia yang membeku, hingga menyeberangi es di Selat Bering. Di beberapa titik, demi menjaga kesinambungan langkahnya, ia bahkan harus berenang melintasi perairan.
Yang menarik, Bushby menjalani semua itu dengan peralatan yang sangat minimal. Di tengah era GPS dan ponsel pintar, ia justru mengandalkan peta kertas, pensil, dan kalkulator sederhana untuk merencanakan rute. Hambatan terbesarnya bukan hanya soal fisik, tapi juga urusan visa, pendanaan, dan situasi global seperti pandemi yang sempat menghentikan langkahnya cukup lama.
Meski begitu, Bushby tidak pernah menganggap perjalanannya sekadar tantangan fisik. Baginya, ini adalah cara memahami dunia secara utuh. Selama hampir 30 tahun berjalan, ia bertemu ribuan orang dari latar belakang yang sangat beragam. Dari desa terpencil hingga wilayah yang jarang tersentuh pelancong, ia merasakan langsung bantuan dan keramahan orang-orang asing.
Dari pengalaman itulah ia menarik satu kesimpulan sederhana tapi kuat: dunia tidak seburuk yang sering digambarkan. Banyak orang baik yang dengan sukarela memberinya makanan, tempat berteduh, atau sekadar teman bicara di tengah perjalanan panjangnya. Kebaikan-kebaikan kecil itu, menurut Bushby, menjadi bahan bakar yang membuatnya terus melangkah dengan mantap.
Kini, saat akhir perjalanan semakin dekat, perasaan Bushby justru campur aduk. Selama 27 tahun, hidupnya hanya berfokus pada satu hal, yaitu satu demi satu melangkahkan kaki. Membayangkan semua itu berhenti saat ia tiba di rumah terasa ganjil baginya.
“Aku merasa belum siap kalau semua ini kemudian tiba-tiba berhenti saat sudah sampai di rumah,” ungkap Bushby sebagaimana dinukil dari Bbc, (10/6/2025).
Kisah Karl Bushby sudah telanjur menjadi simbol ketekunan. Ia membuktikan bahwa mimpi yang terdengar mustahil bukan soal kecepatan, melainkan konsistensi. Selama seseorang terus melangkah, bahkan perjalanan sejauh mengelilingi dunia pun pada akhirnya bisa diselesaikan. Keren banget ya, Gez? (Arie Widodo/E07)
