BerandaHits
Selasa, 1 Feb 2021 19:05

Alexei Navalny dan Aung San Suu Kyi di Tengah Militer yang Menguasai Negara

Aung San Suu Kyi ditahan usai junta Militer Myanmar melakukan kudeta dan menguasai negara. (Twitter/DDNewslive)

Kudeta militer di Myanmar membuat Aung San Suu Kyi ditangkap. Sementara di Rusia, Alexei Navalny juga mengalami nasib serupa. Menilik dua cerita itu, sebetulnya apa yang terjadi saat militer menguasai negara?

Inibaru.id – Alexei Navalny dan Aung San Suu Kyi jadi buah bibir pemberitaan internasional. Keduanya berasal dari dua negara yang berbeda. Navalny di Rusia dan Suu Kyi di Myanmar. Nama terakhir belakangan dibui karena pihak militer Myanmar menganggapnya mencurangi pemilu.

Selain Aung San Suu Kyi, sejumlah tokoh penting dari partai penguasa Myanmar telah ditangkap militer pada Senin (1/2/2021) dini hari. Sebelumnya, hubungan pemerintahan Suu Kyi dan junta militer Myanmar memang semakin memanas. Pihak militer menuding partai Suu Kyi curang saat pemilu pada 8 November 2020 lalu.

Sementara, di Rusia, sudah lebih dari 5.000 orang ditangkap karena melakukan unjuk rasa menuntut pembebasan Alexei Navalny, pemimpin oposisi di Negeri Beruang Merah tersebut. Polisi bahkan sampai memblokir pusat kota dan stasiun kereta bawah tanah Moskwa akibat kekacauan politik di sana.

Navalny ditangkap nggak lama setelah mendarat di Moskwa pada 17 Januari lalu. Hakim mendakwa hukuman penjara selama 30 hari dengan tuduhan melanggar ketentuan pembebasan bersyarat.

Kekuasaan Militer di Indonesia

Alexei Navalny, pimpinan oposisi Rusia yang ditahan pemerintahan Vladimir Putin. (Twitter/sunnykarim7)

Kasus militer menguasai negara nggak hanya terjadi di Myanmar atau negara-negara lainnya. Pada masa Sukarno berkuasa, Indonesia juga pernah mengalami pengaruh kekuasaan militer. Ini bermula dari pemberontakan Pemerintahan Revolusi Republik Indonesia (PRRI) di Sulawesi Utara pada 1957.

Di sana, pemerintahan militer daerah pun diberlakukan. Kekacauan ini membuat Kabinet Ali memutuskan untuk mengembalikan kekuasaan negara terhadap Presiden Sukarno. Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Abdul Haris Nasution kemudian diberi kekuasaan sebagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu).

Hal ini dilanjutkan dengan pengukuhan Panglima Militer di daerah-daerah sebagai Penguasa Perang Daerah (Peperda). Keputusan itu diterapkan karena UU Bahaya (SOB) dianggap berlaku menyusul adanya pergolakan yang dianggap membahayakan keamanan negara.

SOB ini sebenarnya adalah usulan Nasution yang disetujui Sukarno. Konon, militer, khususnya angkatan darat menganggap hal ini berpotensi membuat Sukarno bisa dikontrol, meski statusnya adalah penguasa negara.

Semakin Kuat dan Berkuasa

Abdul Haris Nasution, tokoh nasional saat militer menguasai negara Indonesia di masa Presiden Sukarno. (Twitter/ampgberkarya)

Militer kemudian memberangus pemberontakan PRRI dan Permesta. Mereka juga ikut andil dalam menguasai Irian Barat. Dampak lain dari SOB adalah pembaruan angkatan perang dan persenjataannya.

Namun, kekuasaan militer semakin meluas. Mereka bisa menangkapi para oposisi sebagaimana yang dilakukan Putin terhadap Navalny sekarang, “menertibkan” pers, memegang jabatan sipil, hingga menentukan keputusan ekonomi.

Sebagai contoh, AH Nasution membekukan partai Masjumi yang terang-terangan mendukung PRRI dan Permesta pada September 1958.

Kekuasaan militer di pemerintahan kemudian baru tampak berkurang pada 1963 setelah panglima militer daerah kembali menyerahkan kekuasaannya ke pemerintahan sipil. Namun, setelah itu Sukarno lengser dan lahirlah Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto.

Gimana kekuatan militer pada era Orba? Ehm, kamu tentu tahu jawabannya. Sekarang ini, menarik ditunggu apa yang akan terjadi dengan kekuasaan militer di Myanmar dan pemerintah yang dianggap otoriter di Rusia dengan penangkapan Alexei Navalny dan Aung San Suu Kyi. (His/IB09/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ada Tiga Bibit Siklon Tropis Kepung Indonesia, Apa Dampaknya?

9 Des 2024

Menilik Hasil Rekapitulasi Suara Pilkada 2024 di Lima Daerah

9 Des 2024

Produksi Genting di Desa Papringan, Tetap Autentik dengan Cara Tradisional

9 Des 2024

Rekor 1.000 Poin Megawati Hangestri di Liga Voli Korea

9 Des 2024

Peringati Perang Diponegoro, Warga Yogyakarta Gelar Kirab Tongkat Kiai Cokro

9 Des 2024

Tanpa Transit! Uji Coba Direct Train Gambir-Semarang Tawang, KAI Tawarkan Diskon 50 Persen

9 Des 2024

Sidang Kode Etik Kasus Penembakan di Semarang, Hadirkan Saksi dan Keluarga Korban

9 Des 2024

Apa yang Bikin Generasi Z Sering Dideskripsikan sebagai Generasi Paling Kesepian?

9 Des 2024

Kasus Polisi Tembak Siswa SMK, Robig Dipecat Tidak Dengan Hormat!

10 Des 2024

Penembak Siswa SMK 4 Semarang Dipecat; Ayah Korban: Tersangka Nggak Minta Maaf

10 Des 2024

50 Persen Hidup Lansia Indonesia Bergantung pada Anaknya; Yuk Siapkan Dana Pensiun!

10 Des 2024

Asap Indah Desa Wonosari, Sentra Pengasapan Ikan Terbesar di Jawa Tengah

10 Des 2024

Hanya Membawa Kerugian, Jangan Tergoda Janji Manis Judi Online!

10 Des 2024

Benarkah Pasien BPJS Hanya Bisa Dirawat Inap Maksimal 3 Hari?

10 Des 2024

Jepara Tetapkan Status Siaga Bencana Hidrometeorologi

10 Des 2024

Banyak Bencana di Akhir Tahun, Pakar: Musim Hujan Kali Ini Nggak Normal

10 Des 2024

2024, Vasco da Gama Akhirnya Mencapai Maluku!

11 Des 2024

Kisruh Perebutan Kursi Ketua PMI, Bagaimana Kronologinya?

11 Des 2024

Janji kepada Anjing Mengilhami Pembuatan Film 'The Biggest Little Farm'

11 Des 2024

Geliat Genting Tanah Liat dalam Pusaran Bisnis Atap yang Semakin Berat

11 Des 2024