BerandaFoto Esai
Senin, 26 Mei 2024 09:00

Percikan Api dan Kepulan Asap di Tengah Tradisi Perang Obor di Jepara

Peperangan obor antardua laki-laki dengan membawa pelepah kelapa yang dibakar

Percikan api dan kepulan asap yang membumbung tinggi di tengah Tradisi Perang Obor di Jepara adalah puncak sedekah bumi, yang di dalamnya tersemat doa dan rasa syukur.

Inibaru.id - Sebanyak 40 pemegang obor telah mengambil posisi masing-masing, menjadi dua kubu, bersiap memulai "peperangan", duel satu lawan satu. Api berkobar di mana-mana. Memanas dan menyala merah, seolah-olah tempat tersebut benar-benar merupakan medan laga.

Begitulah gambaran singkat Tradisi Perang Obor di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, belum lama ini. Malam itu, sekitar pukul 19.00 WIB atau bakda Isya ribuan warga telah mengerumuni Jalan Lingkar Jepara untuk menyaksikan keseruan ritual yang menjadi gong dari tradisi sedekah bumi tersebut.

Kepala Desa Tegalsambi Agus Santoso mengatakan, tradisi yang selalu mendatangkan antusiasme masyarakat luas itu digelar tiap Senin Pahing pada bulan Zulkaidah. Untuk tahun ini, ada sekitar 400 obor yang disediakan, yang diletakkan di sejumlah sudut agar semua penonton bisa melihatnya.

"Obor terbuat dari blarak (pelepah kelapa) dan klaras (daun pisang kering) yang diikat hingga menyerupai obor," terangnya seusai perang obor berakhir.

Meski malam itu terlihat menggelora; percikan api bertebaran ke mana-mana dan mata terasa pedih didera asap tebal, penonton tampak tetap berada pada posisinya hingga selesai. Sesekali saja mereka mengucek mata atau menjauh saat api terlihat akan menyambar.

"Mereka (peserta perang obor) adalah warga asli Tegalsambi. Perang ini dilakukan secara profesional, sportif, dan riang gembira, karena tujuannya adalah sebagai ungkapan syukur petani setelah panen atau peternak yang ternaknya melimpah. Intinya mensyukuri pemberian Tuhan," kata Agus.

Harapan dan Tolak Bala

Seperti kebanyakan tradisi sedekah bumi di sebagian wilayah Jawa yang dilaksanakan pada Bulan Apit atau tengah-tengah antara Idulfitri dan Iduladha, perang obor ini juga menjadi bentuk upaya tolak bala oleh warga, sekaligus harapan agar kembali mendapat rezeki melimpah setahun ke depan.

Sebelum perang dimulai, Agus Santoso dibantu para petinggi dan kamitua (tetua) desa membopong benda pusaka dari rumahnya menuju perempatan desa yang berjarak sekitar 500 meter setelah dibacakan azan dan ikamah. Turut serta bersama pusaka adalah kembang, menyan, dan sesaji.

Sesampai perempatan, mereka berdoa dengan tujuan agar pelaksanaan perang obor berjalan lancar. Oya, perempatan jalan itu diyakini sebagai tempat terjadinya perang obor perdana antara dua leluhur Desa Tegalsambi, yaitu Mbah Gemblong dan Kiai Babadan.

Agus bercerita, Perang Obor di Tegalsambi memang bermula dari perseteruan kedua leluhur desa tersebut. Kiai Babadan adalah seorang peternak kaya yang memiliki ratusan sapi dan kerbau. Karena nggak sanggup mengurus ternak sendiri, dia meminta Mbah Gemblong untuk melakukannya.

"Semula, semuanya lancar. Namun, suatu ketika saat Mbah Gemblong mengembala ternak di dekat sungai, beliau memancing karena melihat ada banyak ikan, lalu membakar hasil tangkapannya. Ini dilakukan berkali-kali," kisahnya.

Suatu hari, Kiai Babadan yang tengah mengecek pekerjaan Mbah Gemblong merasa marah lantaran mendapati hewan ternaknya banyak yang kurus dan jatuh sakit. Kemarahan Kiai Babadan memuncak begitu mendapati Mbah Gemblong sedang asyik menyantap ikan bakar.

"Kiai Babadan murka dan mengambil obor di kandang, lalu memukulnya ke arah Mbah Gemblong," terang Agus.

Membakar Kandang Ternak

Mbah Gemblong yang nggak terima dengan perlakuan Kiai Babadan segera mengambil blarak dan membakarnya. Perang obor pun nggak terelakkan, yang berakhibat membakar seisi kandang ternak.

"Kandang yang terbakar kemudian membuat hewan-hewan ternak yang semula sakit lari tunggang-langgang dan justru sembuh seketika. Melihat keanehan itu, mereka pun gencatan senjata," jelas Agus.

Peristiwa itu kemudian dilestarikan oleh masyarakat Desa Tegalsambi dengan menggelar tradisi Perang Obor setiap tahun. Seiring berkembangnya zaman, tradisi itu kemudian disisipi nilai-nilai religius seperti kegiatan barikan, tahlilan, dan selamatan.

Meski telah menjadi ritual rutin yang digelar sejak lama, bukan berarti seluruh peserta Perang Obor sudah terbiasa. Kekhawatiran tetaplah ada, sebagaimana dirasakan Feri Rosadi, pemuda Desa Tegalsambi yang baru kali itu jadi pemain. Dia mengaku sempat bergidik takut.

"Ya, sempat merinding. Khawatir jika kena api., karena jadi pemain sangat berbeda dengan penonton," akunya. "Saya juga sempat cukup kesulitan mengatur napas karena harus lari-lari, tapi setelah itu mulai terbiasa. Jadi, tahun depan mungkin saya akan melakukannya lagi."

Seusai perang obor, lelaki 27 tahun itu mengaku nggak mendapatkan luka serius, hanya luka bakar dan panas pada bagian tangan dan muka, yang telah diobati dengan minyak khusus. Sebelum dan setelah perang, para pemain memang akan diolesi semacam minyak khusus agar luka bakar nggak berdampak serius pada mereka.

"Setelah diolesi, semalaman juga sudah sembuh," ucap Feri menunjukkan luka bakar di tangannya. "Minyaknya terbuat dari kelapa murni yang dicampur dengan kembang telon."

Seru sekaligus menegangkan ya, Milens? Kalau kamu tertarik dengan tradisi Perang Obor di Desa Tegalsambi Jepara ini, tahun depan jangan terlewat, lo! (Alfia Ainun Nikmah/E03)

Percikan api saat bertarung obor dengan lawan.
Besarnya api nggak membuat para pemain dan penonton gentar.
Obor dari kedua kubu telah disulut.
Kedua obor merunduk ke tanah untuk menaklukkan lawan
Warga mengabadikan momen percikan peperangan obor.
Salah seorang petarung obor.
Dua petarung obor yang telah bersiap-siap.
Ekspresi masyarakat saat menonton perang obor.
Percikan api yang khas dari blarak yang terbakar.

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024