BerandaFoto Esai
Senin, 5 Mar 2023 09:00

Gemuruh Gigs dan Geliat Musik Underground di Kota Lunpia

Anggukan penonton yang menikmati pertunjukan musik live yang diselenggarakan oleh Gemuruh Gigs.

Di tengah Gemuruh Gigs, irama yang mengentak-entak dan moshpit yang dijejali penonton yang berjingkrak menjadi genderang penanda geliat musik underground di Kota Lunpia.

Inibaru.id – Hujan masih turun dengan deras ketika saya tiba di Miwiti Space, Kota Lama Semarang, belum lama ini. Malam itu, cuaca begitu dingin di luar, tapi berubah menjadi terasa panas begitu saya memasuki open space yang biasa digunakan untuk perhelatan atau pameran seni tersebut.

Hari itu, Gemuruh menggelar gig keenamnya. Berbekal tiket presale seharga Rp35 ribu di tangan, saya memasuki ruangan yang sudah dipenuhi para penggemar musik underground tersebut. Saya kaget melihat lautan penonton yang datang, mengingat playlist-nya nggak populer bagi masyarakat awam.

Ruangan yang dibikin sangat redup membuat saya agak kesulitan menuju moshpit di depan panggung. Beberapa kali tubuh dan kamera saya terantuk penonton lain yang rata-rata berkaus hitam. Menyerah, saya pun akhirnya memilih melipir ke tepi panggung, lalu naik ke lantai dua untuk mengambil gambar.

Muhammad Bima, fotografer Gemuruh Gigs yang saya jumpai saat sedang memotret mengatakan, sejak digelar kali pertama, gig yang dibikin untuk mewadahi para pemusik dan pencinta musik underground ini memang hampir selalu dipenuhi penonton.

"Untuk gig kali ini, kami sengaja memberi wadah bagi White Swan, band rock asal Bali yang sedang tur album terbaru mereka, Behind the Door," kata lelaki yang juga didapuk sebagai Penanggung Jawab Gemuruh Volume 6 tersebut.

Wadah untuk Band Semarang

Di tengah kesibukannya memotret, Bima menerangkan, Gemuruh Gigs sengaja diciptakan untuk memberi wadah grup band atau pemusik yang membutuhkan panggung, terutama yang tumbuh di Semarang. Tujuannya, agar nama mereka terangkat dan lebih dikenal.

"Kami pengin kolektif musik underground ini menjadi wadah bersenang-senang, menyelesaikan masalah, belajar, sekaligus menambah wawasan baru di belantika musik," ujar Bima.

Dengan sense musik sama yakni underground, dia melanjutkan, para penggawa Gemuruh Gigs jadi bisa saling terhubung dengan mudah. Sebagian dari anggota juga umumnya memiliki band sendiri; misalnya Women in Bloom, Svuaka Pvsara, dan Unless.

"Jadi, kami ini seperti berjejaring; teman bermain yang bergerak bersama," serunya, yang terdengar sayup di telinga saya karena kalah dengan suara musik yang kian keras dan mengentak-entak.

Bima menambahkan, keberadaan Gemuruh Gigs di antara para pemusik underground Semarang adalah napas baru bagi mereka. Sementara bagi penyelenggara, keamanan gig juga nggak perlu terlalu ketat karena penonton, band, dan penyelenggara sudah saling kenal.

“Keamanan gig kami jaga bersama. Kalau situasi mulai kurang kondusif, kami bisa langsung menegur, bahkan memotong acara," kata Bima.

Moshpit yang Kondusif

Untuk yang belum tahu, istilah gig nggak jauh berbeda dengan konser atau pertunjukan musik live. Namun, di Indonesia, konsep gig lebih identik ke konser skala kecil untuk musik underground seperti rock, hardcore, metal, atau punk, yang kurang populer untuk kalangan umum.

Gig biasanya digelar di kafe atau open space dengan audiens tersegmentasi, meski nggak menutup kemungkinan untuk masyarakat awam. Selain panggung pertunjukan, gig underground umumnya memiliki moshpit, area di depan panggung yang memungkinkan penonton berekspresi.

Pada konser "musik keras", moshpit dipakai penonton untuk bergerak kolektif seperti melompat-lompat, mengibarkan panji, atau crowd surfing. Namun, nggak jarang mereka juga saling dorong, tendang, dan pukul, hingga mengakibatkan cedera.

Berdasarkan pengalaman saya menyambangi konser atau gig musik keras, nggak semua penonton datang karena mengenal band yang tampil; tapi untuk moshing, "kontak fisik" dengan penonton lain di tengah moshpit. Di Gemuruh Volume 6, saya bertemu Arya dan Sugeng.

Keduanya tengah menyeka keringat yang bercucuran saat saya bertemu dengan mereka sesaat setelah gig berakhir. Sembari menghela napas yang masih tersengal-sengal, Arya mengatakan, dia sengaja datang ke gig tersebut karena suka moshing-nya.

"Sejujurnya, kami nggak begitu kenal (sama band yang tampil), tapi suka cari keringat dengan 'kungfu" di moshpit," celetuk Arya sambil cengengesan, yang segera diiyakan Sugeng. "Tapi gig ini aman, kok. Semuanya berjalan kondusif."

Benar kata Bima, kendati Gemuruh Gigs digelar tanpa pengamanan yang ketat, jejaring yang saling mengenal dan bergerak bersama agaknya benar-benar menjadi barikade yang membuat moshpit tetap kondusif dan gig berjalan lancar hingga berakhir sekitar pukul 23.00 WIB.

Dengan adanya Gemuruh, semoga musik underground selalu mendapat tempat dan disambut hangat di Kota Semarang, ya, Millens! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Maosko, band lokal Semarang yang menjadi pembuka Gemuruh Gigs Volume 6 yang bertajuk 'Shelter of Heatwave'.
Sugeng Wisnusutha, vokalis White Swan, band dari Bali yang bernyanyi bersama penonton tanpa barikade.
Maha Wahyu, drummer yang sigap mengontrol tempo musik dari White Swan.
Headbang penonton di tengah moshpit Gemuruh Gigs Volume 6.
Moshing menjadi salah satu daya tarik dalam sebuah gig musik underground.
Miwiti Space dipenuhi penonton penggemar musik underground. Di sela pergantian band, para penonton beristirahat sembari berbincang atau berkenalan dengan penonton lain.
Udin Lar, musikus asli Semarang yang dikenal luas setelah kedai makan kepunyaannya yakni Angkringan West viral di media sosial, turut memeriahkan Gemuruh Gigs.
Ruangan yang sengaja dibuat sangat redup membuat Gemuruh Gigs berlangsung lebih intens.
Moshing menjadi salah satu cara penonton menikmati gig musik underground.
Ketukan drum dari Maosko yang secara resmi membuka Gemuruh Gigs Volume 6.

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024