Inibaru.id – Hujan deras disertai badai menjadi kado akhir tahun yang teramat pahit bagi sebagian besar wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah, seminggu lalu. Banjir di mana-mana. BPBD Jateng mencatat, 15 kabupaten dan kota terendam, ribuan warga mengungsi, dan beberapa orang meregang nyawa.
Nggak ada yang tahu kapan datangnya bencana. Menyalahkan 1-2 pihak atas kejadian ini juga percuma. Kendati demikian, salah besar kalau ada yang berpikir bahwa banjir kali ini adalah anomali dan terbilang di luar kendali, karena sebetulnya sudah banyak kalangan yang memprediksi. Tapi, ya sudahlah!
Saya lega karena keluarga dan saudara yang juga tinggal di pantura Jateng mengatakan mereka baik-baik saja. Namun, saya nggak bisa berhenti memikirkan Pasijah dan keluarganya yang tinggal jauh di lepas pantai Demak, yang saya sambangi belum lama ini.
Pasijah adalah satu-satunya keluarga yang masih bertahan di Rejosari Senik, sebuah kampung di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, yang seluruh warganya dipindahkan ke Desa Sidogemah dan Gemulak karena terus-menerus tergenang air. “Desa tenggelam” itu kini lebih dikenal sebagai Kampung Senik.
Bersama suami (Rohani) dan keempat anaknya (Ekwan, Khoiron, Khodriyah, dan Imron Rosadi), perempuan paruh baya tersebut bertahan di sepetak rumah di tengah desa tersebut, yang hampir seluruh wilayahnya telah dipenuhi pohon mangrove.
Bertahan karena Mangrove
Sehari pascabanjir akhir tahun, saya mencoba menghubungi keluarga Pasijah. Namun, nggak ada pesan yang terkirim. Barulah pada Selasa (3/1/2023), Nizar, nakhoda dari perahu yang pernah mengantarkan kami ke rumah Pasijah mengatakan, kampung Mak Jah, begitu dia biasa disapa, aman dari sapuan badai.
“Jalur menuju makam Syekh Muzakir saja yang rusak parah. Mondoliko dan Kampung Senik baik-baik saja,” kata pemuda yang tinggal nggak jauh dari pantai menuju Rejosari Senik tersebut.
Oya, Mondoliko atau Mandalika adalah dusun yang terletak di sebelah timur Senik. Setahun terakhir, dusun ini juga mengalami abrasi cukup parah. Nizar mengungkapkan, sekarang hanya tersisa sembilan keluarga yang masih bertahan di kampung tersebut.
“Mondoliko ini kayaknya bakal jadi wilayah selanjutnya yang hilang dari peta Jawa,” kata Nizar. Getir. “Kampung itu masih ada karena (ditahan hutan) mangrove, tapi (mangrove) itu pun banyak yang rusak.”
Saat kami melancong ke Kampung Senik dan Mondoliko medio (pertengahan) November 2022 lalu, hutan mangrove di sana memang banyak yang meranggas. Menurut Nizar, ada peneliti yang datang dan menemukan fakta bahwa hutan mangrove di Kampung Senik mengalami abrasi lebih dari 10 meter sejak 2018.
Darurat Mangrove
Pasijah dan keluarganya hidup dengan bergantung pada hutan mangrove di sekelilingnya. Perempuan murah senyum itu juga menyadari bahwa hutan yang menaungi rumahnya perlahan mulai terkikis. Namun, dia sudah memilih untuk bertahan di Kampung Senik selama mungkin.
“Kami akan bertahan sekuat tenaga, selama mungkin. Anak-anak juga sepertinya ingin tetap di sini,” kata Pasijah dalam obrolan terakhir kami sebelum banjir akhir tahun melanda Jateng.
Untuk bisa bertahan selama mungkin, Pasijah dan keluarganya memilih terus menanami tiap jengkal tanah di Kampung Senik dengan bibit mangrove. Sehari-hari, dia dan keluarganya memang dikenal sebagai petani mangrove.
“Selain ditanam sendiri, bibit juga dijual ke instansi pemerintah, swasta, atau kampus yang mengadakan penanaman mangrove, baik di Demak maupun daerah lain,” terang Mak Jah yang kala itu menyambut kedatangan kami dengan suguhan teh daun mangrove buatan sendiri di rumahnya.
Membenahi Ekosistem Mangrove
Garis pantai di Jateng terbentang sepanjang kurang lebih 971,52 kilometer; yang terbagi dua, yakni sekitar 645,08 kilometer adalah pantai utara dan 326,44 kilometer merupakan pantai selatan. Yang menyedihkan, sebagian besar ekosistem mangrove di wilayah tersebut mengalami kerusakan.
Hal itulah yang kemudian mendasari munculnya Pergub No 24 Tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah. Intinya, pergub ini mewajibkan pemerintah daerah melakukan langkah konkret dalam pengelolaan ekosistem mangrove di wilayahnya.
Lalu, bagaimana realisasinya? Ya, kita tahu bahwa membenahi ekosistem mangrove bukanlah proyek simsalabim yang bisa selesai dalam 1-2 tahun. Namun, ada banyak orang di pesisir Jateng yang butuh solusi cepat untuk mengatasi perubahan iklim yang juga sangat cepat ini.
Di sejumlah titik di pesisir Jateng memang ada para pejuang mangrove yang telah bertahun-tahun sukarela menyulam bibir pantai di desanya dengan bibit mangrove. Di Demak ada Pasijah; di Kota Semarang ada Sururi. Namun, tanpa dukungan semua kalangan, mereka bisa sejauh mana?
Maka, menuduh siapa yang paling bertanggung jawab atas banjir akhir tahun yang menimpa kita adalah sebuah kesia-siaan. Ini kesalahan bersama, yang mungkin bisa diperbaiki dengan bareng-bareng menyelamatkan ekosistem mangrove di sekitar kita. Sepakat, Millens? (Galih PL/E01)