BerandaAdventurial
Senin, 20 Jul 2025 15:06

Warisan 'Bapak Para Saudagar Kretek' Atmowidjojo dan Dinastinya di Kudus

Peserta berfoto bersama di rumah keluarga Ashadie di Jalan Kiai Telingsing No 1 yang saat ini dialihfungsikan menjadi Moeseoem Ketjil. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Di antara lorong-lorong sempit di pusat kota Kudus, Atmowidjojo yang dijuluki 'Bapak Para Saudagar Kretek' menciptakan dinasti dan mewariskan legasinya. Di mana saja jejak-jejak itu terserak?

Inibaru.id - Jam belum menunjuk jam delapan pagi ketika langkah-langkah muda mulai berkumpul di pelataran Taman Menara Kudus, akhir Juni lalu. Matahari baru naik sejengkal dari ufuk timur, tapi semangat para pencinta sejarah dan bangunan tua di Kota Kretek ini sudah menyala.

Yusak Maulana, peneliti sejarah dan pendongeng dari Cerita Kudus Tuwa, berdiri di depan mereka, memandu para peserta walking tour itu menyusuri lorong-lorong waktu untuk menyelami sejarah keluarga besar Mas Atmowidjojo, tokoh pendiam nan visioner yang dijuluki "Bapak Para Saudagar Kretek".

Yusak Maulana sedang bercerita tentang perjalanan sejarah para saodagar. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

"Tur hari ini bukan sekadar jalan kaki. Ini napak tilas jejak industri rakyat. Kita akan melihat bagaimana satu keluarga membangun dinasti kretek dari dapur hingga pabrik, dari gudang sederhana hingga rumah besar yang kini menjadi pondok dan museum," ujar Yusak saat membuka perjalanan.

Menara Kudus berdiri nggak hanya sebagai lambang keislaman lokal, tapi juga titik temu sejarah dagang, budaya, dan pergerakan. Nggak jauh dari bangunan tersebut, pada akhir abad ke-19, Mas Atmowidjojo lahir dan kelak menjadi pelopor industri rokok kretek di kota penuh sejarah tersebut.

Yusak menunjukan foto gudang rokok saat sebelum dipugar. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Berawal dari kegagalannya berdagang di Mojokerto, Atmowidjojo pulang kampung dan mulai menggiling tembakau bersama istrinya, Warsini. Dari dapur rumahnya lahir merek Eerste, rokok klobot rumahan berbahasa Belanda yang menandai langkah pertamanya.

"Tahun 1913 beliau mendirikan pabrik dengan merek Goenoeng Kedoe, Kerandjang, dan Romah," terang Yusak. "Keberhasilannya sejalan dengan kesederhanaannya. Beliau yang suka bersih-bersih halaman sendiri sampai pernah membuat tamu-tamunya salah sangka, mengira beliau adalah tukang kebun.”

Lorong Kecil yang Menyimpan Kenangan

Yusak dan peserta berada di depan gudang Rokok Gunung Kedu milik Atmo. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Dari taman, langkah bergeser ke gang-gang kecil yang dulu menjadi nadi distribusi dan produksi. Di antara tembok rumah yang kini menjadi tempat tinggal warga, Yusak menunjuk satu titik yang dulunya adalah gudang tembakau Cap Delima milik Haji Mas Ashadie, putra sulung Atmowidjojo.

“Dulu di sinilah beliau menyimpan tumpukan tembakau dari berbagai penjuru. Gudang ini dikenal sebagai Gudang A, dibeli pada 1918 setelah Ashadie memisahkan diri dari usaha ayahnya,” terang Yusak.

Peserta Walking Tour bersemangat di bawah terik matahari. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Ashadie nggak hanya saudagar, tapi juga tokoh spiritual. Setelah berhaji pada usia 18 tahun, dia mengganti namanya dan menjalankan usaha dengan filosofi rukun dan doa: Sing do rukun, do ndedonga. Cap Delima miliknya mencapai masa keemasan antara 1926–1939 dengan 13 bangunan pabrik dan lebih dari 3.000 buruh.

Kini gudang itu telah menjelma perumahan warga. Namun, bagi Cerita Kudus Tuwa, lokasi-lokasi ini tetap penting.

“Kami menandai tempat-tempat ini bukan untuk bernostalgia, tapi sebagai pengingat bahwa sejarah rakyat pernah hidup di sini,” kata Yusak.

Pabrik Rokok yang Menjadi Pondok Pesantren

Terluhat di belakang bekas gedung PR Delima yang sekatang menjadi Pondok Pesantren. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Perjalanan berlanjut ke bangunan besar di kawasan Demangan yang kini menjadi Pondok Pesantren. Dulunya adalah kantor pusat PR Delima. Di sini jejak kejayaan industri kretek Ashadie pernah bersinar.

Nggak hanya sigaret dan klobot, tetapi juga pusat distribusi, laboratorium, dan ruang eksperimen racikan saus legendaris yang dibuat oleh Fatimah, istri keduanya.

“Konon, saus racikan Mak Fat itu bisa membuat rumput pun terasa enak kalau disausi,” ucap Yusak sambil terkekeh, menirukan anekdot lama.

Rumah anak cucu Ashadie yang dulu adalah konplek perkantoran PR Delima yang sekarang kantonya menjadi museum. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Di sini pulalah Haji Ashadie pernah menerima tamu agung: Kolonel Gatot Subroto pada 1948, pasca-pemberontakan PKI. Dalam kunjungan itu, Ashadie menyambut dengan simbol perdamaian: seekor kambing betina dari halaman pabrik.

Bagi sebagian peserta, fakta bahwa pondok yang menjadi pusat pendidikan Islam modern ini semula adalah kantor industri kretek merupakan sebuah pengalaman yang menyentuh.

“Sejarah punya banyak wajah. Yang penting kita tahu asal muasalnya,” kata seorang peserta, mahasiswa sejarah dari Kota Semarang.

Moeseoem Ketjil Keluarga Ashadie

Peserta melihat foto dengan keterangan tentang Atmo dan anak-anaknya. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Akhir perjalanan membawa rombongan ke Jalan Kiai Telingsing No 1, rumah keluarga Ashadie yang kini dialihfungsikan menjadi Moeseoem Ketjil oleh anak cucu mereka.

Di ruang utama, peserta disambut oleh berbagai etiket rokok tempo dulu: Cap Delima, Cap Sogo, Cap Goenoeng, Cap Krandjang, Cap Garbis, dan lainnya. Ada juga foto-foto tua: Mas Atmowidjojo yang bersahaja, Fatimah si peracik saus, hingga M Roesdi sang bungsu yang mendirikan Cap Sogo pada 1938.

Melihat etiket lawas. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Yusak berdiri di depan meja tua yang dulunya adalah meja administrasi Cap Delima.

“Di sinilah keputusan-keputusan bisnis dibuat. Namun yang lebih penting, di sinilah nilai-nilai keluarga dibangun,” katanya.

Area museum yang dijadikan pameran. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Dia mengisahkan bahwa dari Atmowidjojo lahir nggak hanya perusahaan, tapi juga jaringan sosial dan spiritual. Dia menyatukan keluarga lewat makan bersama, menyanyi bersama, bahkan mendorong anak-anaknya untuk bersaing secara sehat.

“Persaingan dalam keluarga bukan berarti permusuhan. Mereka tetap menjaga rukun, tetap bersilaturahmi,” ucap Yusak sambil menunjuk salah satu foto pernikahan antara putri M Sirin dengan putra HM Moeslich, dua saudagar besar yang bersatu lewat pernikahan anak-anak mereka.

Pameran Etiket Rokok

Salah satu sudut rumah peninggalan HM Ashadie. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Acara ditutup dengan sesi melihat pameran etiket rokok kretek, hasil kurasi Cerita Kudus Tuwa. Etiket-etiket ini bukan sekadar desain visual, tapi statement zaman: dari Cap Goenoeng Kelapa dengan dominasi warna berbeda untuk tiap anak hingga Cap Sogo yang berlambang biji merah sebagai simbol keceriaan masa kecil.

Ada juga Cap Gedoeng milik Soemadji serta Cap Crown dan Painah dari M Chajat, suami Nasidjah. Semua merek ini menyuarakan keberagaman dalam satu akar: Keluarga Atmowidjojo.

Pameran etiket oleh Cerita Kudus Tuwa. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

“Etiket adalah identitas, simbol eksistensi, dan dalam konteks ini, juga artefak sejarah. Kita bisa membaca bagaimana keluarga ini terus mencari bentuk, terus berinovasi,” kata Yusak.

Saat peserta mulai bubar, ada sejenak keheningan yang tertinggal. Bukan karena lelah, tapi tersentuh oleh perjalanan yang lebih dari sekadar fisik. Ini adalah perjalanan spiritual, sosial, dan budaya yang melintasi waktu.

Peserta mendengarkan penjelasan. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Yusak menutup dengan mengutip pesan terakhir Atmowidjojo kepada M. Roesdi, "Wong ngalah iku ngarep dadi tata krama, ing mburi nginceng barang kang wingit (Mengalah bukan berarti kalah, tapi jalan menuju sesuatu yang berharga)."

Hari itu, mereka tahu bahwa legasi kretek Kudus bukan hanya pabrik dan produk, tapi juga cerita para saudagar dan dinastinya yang dibumbui pergulatan bisnis, proses kreatif, inovasi, dan nilai yang telah mereka wariskan. Semoga selalu lestari dan lekang dalam ingatan. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: