Inibaru.id - Rumah besar itu tampak sepi ketika saya berkunjung, Kamis (26/12) sore. Tentu bukan tanpa sebab saya ke sana. Kabar adanya harta karun di rumah tersebut sangat memicu rasa penasaran saya. Nggak cuma itu, rumah dengan arsitektur Belanda ini juga digunakan untuk syuting film Suzana Beranak dalam Kubur (1972).
Lokasinya berada di Jalan Teuku Umar, Jatingaleh, Kota Semarang. Saya kira nggak banyak orang yang mengetahui rumah tersebut, sebab letaknya di belakang sebuah kafe kecil yang bernama “Basilia Candi”.
Saya sempat berkeliling. Sebetulnya saya agak takut, sebab sebelum berkunjung saya sempat melihat bagaimana gambaran rumah ini tatkala menjadi lokasi syuting Beranak dalam Kubur. Cukup seram. Alhasil perasaan tersebut masih terus terbawa. Jangan bilang saya cemen ya! Ini beneran seram!
Sewaktu berkeliling tiba-tiba pintu samping rumah dibuka Kolonel Purn Nursahit (83). Dia adalah pemilik rumah ini. Kondisinya sudah nggak seganggas dulu. Kini dia menghabiskan masa tuanya dengan sebuah tongkat penyangga dan kursi roda.
Di rumah tersebut dia tinggal bersama istrinya. Belakangan dia meminta Santi, anaknya, untuk menetap. Saya bisa memahami itu. Di usia senja, dia pasti ingin dekat dengan anaknya.
Ketika duduk di ruang tamunya, tampak ruangan yang luas. Cukup klasik. Gaya bangunan lawasnya masih bertahan. Dinding-dindingnya pun masih baik, nggak ada yang rompal. Tangga untuk menuju lantai dua pun masih tampak asli. Yang berubah barangkali hanya beberapa kusen pintu dan jendela.
“Sewaktu saya datang bentuknya belum seperti ini. Rusak sana-sini. Apalagi sehabis dibuat sebagai lokasi syuting. Wah, banyak yang dijarahi dan dicongkeli. Untung lantai-lantai di sini tidak bisa dicongkel jadi masih asli,”ungkapnya.
Nursahit seperti seorang kakek yang mendongengi cucunya. Dia menceritakan banyak hal kepada saya. Mulai dari muasal adanya harta karun yang ada di rumah ini, kejengahan dia kepada para pencari harta karun, bagaimana dia merawat rumah ini hingga sejumlah cerita mistis yang berasal dari pengakuan banyak orang.
“Rumah ini perpaduan dari arsitektur Belanda dengan filosofi China. Tata ruangnya saja diatur menurut fengshui. Rumah yang saya tempati ini adalah bagian utama. Sementara halaman belakang yang jadi kos-kosan itu mungkin untuk para pekerja rumah tangga dan dapur,” terangnya.
Nggak heran jika bangunan ini menggunakan fengshui khas Tionghoa, wong pemilik terdahulunya orang Tionghoa. Namanya Gwi Tian Ji. Kemudian pada zaman penjajahan Jepang dulu, rumah ini sempat digunakan untuk markas Kempetai, satuan polisi militer Jepang
Selepas bicara dengan Nursahit saya naik ke lantai dua. Sampai di sana kosong. Peralatan pekerja bangunan berserakan. Tampaknya memang sedang direnovasi. Namun begitu sampai balkon, saya bisa melihat hamparan Kota Semarang. Saya kira kalau malam pasti cantik dengan kerlap-kerlip lampu kotanya.
Saat berkeliling tersebut saya bertemu dengan Santi. Dia sebelumnya berprofesi sebagai guru tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Katanya sudah banyak juga yang menyinggung hal-hal mistis di rumah ini.
“Pernah ada anak indigo yang datang ke rumah ini. Dia bilang ada noni-noni Belanda yang suka melihat keguyuban keluarga kami. Katanya dia dulu korban pembantaian tentara Jepang. Tapi seumur-umur saya nggak pernah mendapat kejadian mistis. Bahkan adanya harta karun itu saya juga nggak percaya. Ya, mungkin memang benar di tanjakan, tapi apa ya di rumah ini kan nggak ada bukti konkritnya,” pungkas Santi.
Bagi Santi dan kelima saudaranya, ada atau nggaknya harta karun, rumah tersebut tetap bermakna. Karena itu, keluarganya nggak keberatan merawat rumah yang menjadi cagar budaya ini dengan dana pribadi.
Wah, salut dengan Nursahit dan keluarga yang telah merawat bangunan kuno Belanda ini ya, Millens. Semoga ada bantuan dari pemerintah ya. (Audrian F/E05)