Inibaru.id – Masyarakat Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dikejutkan dengan laporan adanya 80-an warga yang terpapar antraks di Kecamatan Semanu. Bahkan, tiga orang dikabarkan meninggal akibat terjangkit penyakit ini.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, warga terjangkit antraks setelah mengonsumsi daging sapi yang mati karena terkena penyakit.
“Ada tiga orang yang meninggal di Semanu. Kalau di Karangmojo nggak ada. Tapi orang-orang yang sakit pas diperiksa positif antraks,” ucap Siti sebagaimana dilansir dari CNN, Selasa (4/7/2023).
Kok bisa sih sampai ada warga mengonsumsi sapi yang mati akibat terkena penyakit? Kalau menurut Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan setempat Retno Widyastuti, warga Gunungkidul mengenal tradisi mbrandu alias membeli ternak yang mati milik tetangganya di desa. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk gotong-royong untuk membantu warga yang sedang kesusahan.
Di desa, ternak diharapkan bisa jadi sumber pemasukan bagi warga. Jika mati, tentu sumber pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari hilang. Nah, melalui tradisi mbrandu, warga yang ternaknya mati setidaknya tetap bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidup.
“Salah satu yang bikin antraks itu susah hilang ya karena ada hewan yang mati lalu dipotong dan dikonsumsi. Bakteri yang ada di dalam daging hewan berubah menjadi spora. Spora itulah yang bisa bertahan sampai puluhan tahun,” terang Retno.
Hal ini dibuktikan dengan kasus antraks yang terjadi di Dusun Jati, Desa Candirejo, Semanu. Warga memotong sapi yang sudah mati dan dagingnya kemudian dijual untuk membantu pemilik sapi tersebut. Nggak ada yang menyangka jika sapi tersebut ternyata sakit antraks.
“Pas saya tanya ke warga, memang tujuannya membantu warga yang kesusahan biar nggak terlalu rugi. Per paket daging sapi yang dipotong Rp45 ribu. Uangnya diberi ke warga yang susah itu,” lanjut Retno.
Di sisi lain, Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto mengaku pihaknya sudah mengetahui tentang tradisi mbrandu yang nggak pas tersebut. Sosialisasi juga sudah dilakukan agar warga membantu tetangga dengan cara yang lebih aman. Tapi, hal ini sepertinya belum memberikan hasil yang positif.
“Sosialisasi sudah banyak dilakukan kawan-kawan dari Dinas Peternakan. Dikasih tahu kalau sapi sakit nggak di-mbrandu, nggak dikonsumsi. Tapi ya kembali lagi ke masyarakatnya. Padahal, antraks itu dampaknya cukup mengerikan,” ucap Heri.
Memang, yang namanya tradisi, apalagi yang sudah mengakar di masyarakat akan sulit untuk dihilangkan. Apalagi tujuan tersebut sebenarnya punya maksud mulia.
Namun, karena sudah sampai menyebabkan orang meninggal dan jatuh sakit, sosialisasi memang sebaiknya semakin digalakkan agar masyarakat nggak kembali sembarangan mengonsumsi daging sapi yang sakit atau bahkan sudah mati karena penyakit. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E10)