Inibaru.id - Dalam khazanah budaya Jawa, kepemimpinan bukan sekadar soal takhta dan kuasa, melainkan sebuah laku spiritual yang berpijak pada integritas kata. Salah satu kristalisasi nilai yang paling luhur adalah filosofi Sabdo Pandito Ratu. Kalimat ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah komitmen etis bahwa setiap ucapan seorang pemimpin adalah hukum yang nggak boleh dikhianati.
Secara etimologis, filosofi ini terdiri dari tiga pilar utama: Sabdo (perkataan/sabda), Pandito (pendeta/orang bijak/intelektual), dan Ratu (raja/pemimpin). Ketika ketiga elemen ini menyatu, ia melahirkan prinsip "Tan Kena Wola-Wali", yang berarti ucapan seorang pemimpin nggak boleh berubah-ubah atau mencla-mencle.
Bagi masyarakat Jawa tradisional, seorang pemimpin ideal haruslah memiliki kedalaman batin layaknya seorang Pandito. Ia bukan hanya memerintah dengan otot atau diplomasi politik, tetapi dengan kebijaksanaan spiritual.
Ketika seorang pemimpin berucap, kata-katanya dianggap sebagai "wahyu" atau titah yang sakral. Mengapa demikian? Karena dalam kosmologi Jawa, harmoni alam semesta (memayu hayuning bawana) sangat bergantung pada keseimbangan antara perkataan dan perbuatan sang pemimpin. Jika seorang pemimpin berbohong atau mengingkari janjinya, ia dianggap telah merusak tatanan moral masyarakatnya.
Relevansi di Era Modern
Di era informasi yang serba cepat ini, di mana "post-truth" sering kali mengaburkan fakta, filosofi Sabdo Pandito Ratu menjadi pengingat yang sangat relevan. Seringkali kita melihat pemimpin yang dengan mudah meralat ucapannya atau menggunakan retorika hanya untuk kepentingan elektoral sesaat.
Filosofi ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada kepercayaan (trust). Sekali seorang pemimpin kehilangan kredibilitas karena kata-katanya yang nggak selaras dengan realita, maka ia kehilangan wibawanya sebagai Ratu.
Nilai-Nilai Utama Sabdo Pandito Ratu
Ada beberapa poin penting yang bisa kita petik dari ajaran ini untuk kepemimpinan masa kini:
- Akuntabilitas: Berani bertanggung jawab atas setiap janji yang diucapkan.
- Konsistensi: Menjaga keselarasan antara visi di awal dengan eksekusi di lapangan.
- Kebijaksanaan: Berpikir matang sebelum berucap, karena kata-kata adalah komitmen publik.
Sebagai penutup, Sabdo Pandito Ratu adalah sebuah cermin besar bagi siapa saja yang memegang amanah. Ia menuntut kita untuk kembali ke akar kejujuran. Seorang pemimpin yang hebat bukan mereka yang paling keras suaranya, melainkan mereka yang paling setia pada kata-katanya sendiri. Karena pada akhirnya, kehormatan seseorang nggak terletak pada mahkotanya, melainkan pada lidahnya.
Semoga para pemimpin bangsa kembali merenungkan arti mendalam filosofi keren ini ya, Gez. (Siti Zumrokhatun/E05)
