Inibaru.id - Bagi sebagian orang, keris mungkin hanya terlihat sebagai pusaka atau senjata tradisional. Namun bagi masyarakat Jawa, keris adalah bahasa simbol. Sebuah cara halus untuk menunjukkan siapa diri mereka tanpa harus banyak bicara. Salah satu simbol paling kuat justru tampak dari bagaimana keris dikenakan. Umumnya, keris dipasang di belakang pinggang. Mengapa begitu? Jawabannya berkaitan dengan nilai penting dalam budaya Jawa. Sebut saja andhap asor atau sikap rendah hati.
Praktisi keris asal Yogyakarta, Victor Mukhammadenis, menjelaskan bahwa orang Jawa sejak dulu diajarkan untuk tidak menonjolkan diri. Kekayaan, kepandaian, bahkan kesaktian, bukanlah sesuatu yang pantas diumbar. Keris, sebagaimana simbol kekuatan, karisma, dan kemampuan seseorang, pun ditempatkan di belakang agar tidak menjadi alat pamer. “Yang orang Jawa sukai adalah tidak menonjolkan kelebihan di depan,” ujar Victor mengutip Kumparan (19/5/2022).
Dengan menempatkan keris di belakang, pemiliknya menunjukkan bahwa ia mampu mengendalikan diri. Keris memang tajam, namun ketajaman itu nggak untuk ditunjukkan setiap saat. Orang Jawa percaya, kemampuan mengendalikan hawa nafsu lebih penting daripada memperlihatkan apa yang ia miliki. Jika keris diletakkan di depan, menurut Victor, godaan untuk mencabutnya akan lebih besar. “Itu bisa berbahaya, makanya ditempatkan di belakang,” tambahnya.
Namun, nggak semua tokoh memakai keris di belakang. Ada tradisi memakai keris di depan yang disebut sikep. Biasanya dilakukan oleh ulama atau pemuka agama. Tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro sering tampil dengan keris di bagian perut. Dalam konteks Diponegoro, posisi itu menandakan kesiapannya menghadapi maut dalam perjuangan melawan penjajah. Ini bentuk keberanian dan tekad, bukan sekadar gaya.
Pada masa kerajaan, posisi keris juga berhubungan dengan situasi politik. Keris yang dikenakan di belakang menandakan keadaan damai dan sikap patuh pada raja. Sebaliknya, keris yang dipakai di depan menjadi simbol perlawanan. Rajamarga, tata aturan perilaku bangsawan, mengatur posisi ini dengan sangat teliti.
Selain belakang dan depan, keris kadang dipakai di samping, terutama oleh prajurit yang sedang menunggang kuda atau membawa senjata lain. Di Yogyakarta, gaya yang dianggap paling sopan adalah klabang pinipit, keris miring ke kanan dan mudah melorot. Sekilas tampak merepotkan, tapi justru itu maknanya bahwa seseorang harus selalu waspada terhadap tindakannya sendiri. Di Solo, gaya berbeda disebut satriya keplayu, keris tegak di belakang. Sopan menurut mereka, tapi dianggap terlalu tergesa oleh orang Jogja.
Baca Juga:
Jangan Salah Paham, Keris itu...Dari berbagai cara mengenakannya, satu hal jelas bahwa keris bukan sekadar benda. Ia adalah cermin nilai, etika, dan jati diri masyarakat Jawa. Cara menyelipkannya saja sudah mengandung pesan panjang tentang kerendahan hati, kesiapsiagaan, hingga keberanian.
Dengan memahami makna ini, kita jadi tahu bahwa budaya nggak hanya hidup dalam upacara besar, tetapi juga dalam gerak paling sederhana seperti bagaimana seseorang mengenakan kerisnya. (Siti Zumrokhatun/E05)
