Inibaru.id - Pernahkah kamu merenungkan, kenapa nenek moyang kita rajin sekali menanamkan kisah seram tentang pohon besar yang dihuni hantu atau jin? Mungkin di benak kita, itu hanya takhayul kuno. Tapi, seandainya cerita-cerita angker itu adalah cara cerdas para leluhur untuk melindungi alam, lantas apa yang mereka coba jaga?
Jawabannya tersembunyi di dalam akar-akar pohon beringin yang dimistifikasi di Jawa dan di berbagai hutan keramat Nusantara.
Studi antropologi menunjukkan, mistifikasi pohon-pohon tertentu, secara eksplisit ditujukan untuk konservasi ekologis purba. Pohon-pohon besar, yang secara ekologis berfungsi sebagai penjaga hidrologi yang vital menahan air dan menjaga mata air secara spiritual diangkat derajatnya sebagai simbol sejarah dan penghubung antara manusia dan entitas spiritual.
Ini adalah strategi konservasi yang brilian. Dengan menempatkan kekuatan spiritual pada pohon, masyarakat dijamin tidak akan berani menebangnya. Status ‘keramat’ secara efektif menciptakan zonasi perlindungan yang tidak memerlukan batas fisik modern atau pengawasan formal. Ini adalah konservasi tanpa harus mendirikan pos jaga.
Pamali: Kontrol Sosial yang Lebih Ampuh dari Hukum
Leluhur kita mengubah logika ilmiah yang kompleks bahwa kerusakan hutan menyebabkan kekeringan menjadi narasi ancaman pribadi yang sangat kuat. Inilah yang kita kenal sebagai pamali, atau larangan adat.
Budaya pamali telah terbukti menjadi mekanisme kontrol sosial yang ampuh di masyarakat adat untuk mencegah deforestasi dan kerusakan bentang lahan. Kekuatan pamali terletak pada rasa takut terhadap ‘laknat’ atau kutukan jika alam dirusak. Rasa takut ini menciptakan kepatuhan yang jauh lebih efektif daripada hukum formal modern yang seringkali mudah diabaikan.
Ketika menebang pohon keramat, ancamannya bukan sekadar denda, melainkan kerugian spiritual yang diyakini akan menimpa individu atau komunitas, bahkan hingga ke generasi mendatang. Mitos-mitos ini adalah terjemahan kearifan lokal terhadap risiko kegagalan ekosistem. Sistem penegakan hukum berbasis spiritual ini memastikan keberlanjutan fungsi lingkungan, termasuk hutan, tanah, dan sumber air.
Warisan yang Relevan di Era Modern
Contoh paling nyata bisa dilihat di sekitar kita seperti pohon beringin sering tumbuh di lokasi penting seperti hulu sungai. Melindunginya dengan label 'angker' secara otomatis menjaga siklus air lokal. Begitu juga narasi spiritual yang mengelilingi hutan seperti Alas Purwo di Banyuwangi, yang berfungsi sebagai benteng terakhir melawan eksploitasi.
Melihat kembali warisan ini, Gez, kita menyadari bahwa kearifan lokal adalah solusi yang relevan. Mitos pohon angker bukanlah takhayul irasional, melainkan kode etik konservasi purba yang cerdas. Ia mengubah perlindungan alam dari sekadar kewajiban hukum menjadi kewajiban moral dan spiritual. Ini adalah cetak biru cemerlang untuk menjaga Bumi kita di tengah krisis lingkungan saat ini. Gimana menurutmu? (Siti Zumrokhatun/E05)
