Inibaru.id – Kamu pasti sudah sering mendengar istilah "kumpul kebo", kan? Itu merupakan istilah untuk menggambarkan orang yang sudah hidup bersama layaknya suami istri namun sama sekali nggak terikat pernikahan. Praktik ini tentu nggak wajar bagi orang Indonesia yang masih mengedepankan adat ketimuran.
Karena ada kata "kebo" yang dalam Bahasa Jawa berarti kerbau, banyak orang yang menganggap istilah ini sebagai cara untuk menyamakan orang-orang yang tinggal bersama tanpa pernikahan melakukan tindakan seperti hewan. Tapi, ternyata hal itu nggak benar, Millens.
Menilik sejarah kemunculan istilah ini, kumpul kebo sama sekali nggak ada kaitannya dengan hewan ternak tersebut. Merahputih, Kamis (26/9/2019) menulis, istilah kumpul kebo berasal dari kombinasi Bahasa Melayu serta Bahasa Belanda. Pada masa penjajahan, istilah ini dikenal masyarakat sebagai "koempoel gebouw".
Kata "koempoel" yang dibaca "kumpul" masih memiliki makna yang sama hingga sekarang, yaitu berkumpul atau bersama. Sementara itu "gebouw" adalah kata Bahasa Belanda yang memiliki makna bangunan. Jadi, koempoel gebouw bisa diartikan sebagai tinggal bersama dalam satu bangunan (rumah).
Ada Sejak Zaman VOC
Praktik kumpul kebo sudah dikenal pada masa kepemimpinan Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 serta 1627-1629). Saat itu, banyak laki-laki Belanda yang merantau ke Hindia Belanda. Sayangnya, nggak semuanya bisa membawa istri. Hanya para pejabat tinggi atau orang kaya yang mampu. Para pekerja kelas bawah seperti para serdadu atau kelasi kapal pun harus melakukan LDR dengan kekasihnya.
Karena nggak punya pasangan untuk melampiaskan hasrat seksual, para laki-laki Eropa kelas bawah ini kemudian sering datang ke pelacuran. Hal ini membuat JP Coen yang dikenal agamis menjadi murka. Dia bahkan sempat mengancam orang-orang yang masih hobi datang ke pelacuran dengan hukuman berat, termasuk hukuman mati.
Tapi, JP Coen juga nggak egois. Dia mencari akar permasalahan asusila ini dan menyadari bahwa di Hindia Belanda, khususnya Batavia, populasi perempuan Eropa sangat sedikit.
Dikutip dari VOI, (7/7/2022), JP Coen mengirim surat ke pimpinan pusat VOC, Heeren Zeventien di Belanda. Dia meminta pengiriman perempuan baik-baik ke Batavia demi memastikan anak buahnya terjaga moralnya. Sayangnya, permintaan ini tidak mendapatkan sambutan positif.
Para laki-laki Eropa pun akhirnya memutuskan untuk mencari pasangan perempuan lokal. Sayangnya, aturan VOC yang kala itu cukup rasis dan mendiskriminasi warga lokal membuat pernikahan antar ras sulit diwujudkan. Contohnya, ada aturan yang membuat karyawan VOC nggak boleh pulang ke Eropa selama lima tahun sejak tanggal dia menikah dengan pribumi.
Bahkan, menurut catatan di dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia karya Gelman Taylor yang terbit pada 2009 lalu, sejak 1633 laki-laki Belanda yang sudah menikah di Hindia Belanda semakin sulit untuk pulang ke negaranya.
Sadar bahwa pernikahan akan membuat hidup mereka kesulitan, para laki-laki Belanda ini pun kemudian memilih untuk hanya tinggal bersama dengan perempuan lokal, khususnya para budak, tanpa melakukan pernikahan resmi. Sejak saat itulah, istilah koempoel gebouw muncul.
Praktik ini menguntungkan laki-laki Belanda, tapi merugikan para perempuan pribumi yang kerap disebut sebagai "nyai". Meski para nyai tinggal berkecukupan, status mereka dianggap sebagai perempuan nggak bermoral karena memiliki anak di luar pernikahan. Anak-anak mereka juga dianggap sebagai aib.
Pada banyak novel berlatar masa penjajahan Belanda, pastilah kamu akan mendapati istilah kumpul kebo dan nyai, Millens. Rupanya asal muasal kata itu memang dari zaman kependudukan Belanda di Indonesia. (Arie Widodo/E10)