BerandaTradisinesia
Sabtu, 14 Okt 2022 10:07

Nggak Terkait Kerbau, 'Kumpul Kebo' Berasal dari Bahasa Belanda

Ilustrasi: Pasangan kumpul kebo zaman kolonial. (VOI/Wa Fong/Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Kumpul kebo bukanlah istilah yang ada kaitannya dengan hewan kerbau. Selain itu, tahukah kamu jika istilah tersebut sudah ada sejak zaman kolonial?

Inibaru.id – Kamu pasti sudah sering mendengar istilah "kumpul kebo", kan? Itu merupakan istilah untuk menggambarkan orang yang sudah hidup bersama layaknya suami istri namun sama sekali nggak terikat pernikahan. Praktik ini tentu nggak wajar bagi orang Indonesia yang masih mengedepankan adat ketimuran.

Karena ada kata "kebo" yang dalam Bahasa Jawa berarti kerbau, banyak orang yang menganggap istilah ini sebagai cara untuk menyamakan orang-orang yang tinggal bersama tanpa pernikahan melakukan tindakan seperti hewan. Tapi, ternyata hal itu nggak benar, Millens.

Menilik sejarah kemunculan istilah ini, kumpul kebo sama sekali nggak ada kaitannya dengan hewan ternak tersebut. Merahputih, Kamis (26/9/2019) menulis, istilah kumpul kebo berasal dari kombinasi Bahasa Melayu serta Bahasa Belanda. Pada masa penjajahan, istilah ini dikenal masyarakat sebagai "koempoel gebouw".

Kata "koempoel" yang dibaca "kumpul" masih memiliki makna yang sama hingga sekarang, yaitu berkumpul atau bersama. Sementara itu "gebouw" adalah kata Bahasa Belanda yang memiliki makna bangunan. Jadi, koempoel gebouw bisa diartikan sebagai tinggal bersama dalam satu bangunan (rumah).

Ada Sejak Zaman VOC

Praktik kumpul kebo sudah dikenal pada masa kepemimpinan Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 serta 1627-1629). Saat itu, banyak laki-laki Belanda yang merantau ke Hindia Belanda. Sayangnya, nggak semuanya bisa membawa istri. Hanya para pejabat tinggi atau orang kaya yang mampu. Para pekerja kelas bawah seperti para serdadu atau kelasi kapal pun harus melakukan LDR dengan kekasihnya.

Karena nggak punya pasangan untuk melampiaskan hasrat seksual, para laki-laki Eropa kelas bawah ini kemudian sering datang ke pelacuran. Hal ini membuat JP Coen yang dikenal agamis menjadi murka. Dia bahkan sempat mengancam orang-orang yang masih hobi datang ke pelacuran dengan hukuman berat, termasuk hukuman mati.

Tapi, JP Coen juga nggak egois. Dia mencari akar permasalahan asusila ini dan menyadari bahwa di Hindia Belanda, khususnya Batavia, populasi perempuan Eropa sangat sedikit.

Ilustrasi pasangan kumpul kebo di Hindia Belanda. (wawasansejarah)

Dikutip dari VOI, (7/7/2022), JP Coen mengirim surat ke pimpinan pusat VOC, Heeren Zeventien di Belanda. Dia meminta pengiriman perempuan baik-baik ke Batavia demi memastikan anak buahnya terjaga moralnya. Sayangnya, permintaan ini tidak mendapatkan sambutan positif.

Para laki-laki Eropa pun akhirnya memutuskan untuk mencari pasangan perempuan lokal. Sayangnya, aturan VOC yang kala itu cukup rasis dan mendiskriminasi warga lokal membuat pernikahan antar ras sulit diwujudkan. Contohnya, ada aturan yang membuat karyawan VOC nggak boleh pulang ke Eropa selama lima tahun sejak tanggal dia menikah dengan pribumi.

Bahkan, menurut catatan di dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia karya Gelman Taylor yang terbit pada 2009 lalu, sejak 1633 laki-laki Belanda yang sudah menikah di Hindia Belanda semakin sulit untuk pulang ke negaranya.

Sadar bahwa pernikahan akan membuat hidup mereka kesulitan, para laki-laki Belanda ini pun kemudian memilih untuk hanya tinggal bersama dengan perempuan lokal, khususnya para budak, tanpa melakukan pernikahan resmi. Sejak saat itulah, istilah koempoel gebouw muncul.

Praktik ini menguntungkan laki-laki Belanda, tapi merugikan para perempuan pribumi yang kerap disebut sebagai "nyai". Meski para nyai tinggal berkecukupan, status mereka dianggap sebagai perempuan nggak bermoral karena memiliki anak di luar pernikahan. Anak-anak mereka juga dianggap sebagai aib.

Pada banyak novel berlatar masa penjajahan Belanda, pastilah kamu akan mendapati istilah kumpul kebo dan nyai, Millens. Rupanya asal muasal kata itu memang dari zaman kependudukan Belanda di Indonesia. (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024