Inibaru.id – Hotel Sidji berada di pusat kota Pekalongan, tepatnya hanya lima menit berjalan kaki dari Alun-Alun. Meski lokasinya ada di wilayah yang kental dengan bangunan modern, begitu memasuki hotel ini, kita seperti kembali ke masa 1920-an. Hotel ini memang bisa memberikan suasana yang sangat berbeda dibandingkan dengan hotel-hotel lain di Pekalongan.
Seperti yang kita tahu, Pekalongan dikenal sebagai sentra pembuatan batik di Jawa Tengah. Nah, jika kita menilik sejarah, tepatnya pada awal 1900-an, pemilik Hotel Sidji, yaitu Hoo Tong Koey merupakan salah satu pebisnis sukses dalam industri ini.
Mengenal Hoo Tong Koey
Lahir di Pekalongan, Hoo Tong Koey merupakan generasi ke empat yang datang dari Tiongkok pada akhir abad ke-17. Tatkala menjejak usia 18, Tong Koey sudah memulai usaha sendiri di bidang tembakau. Pada awal 1990-an, dia menikahi Tan Seng Nio, sesama Peranakan Tionghoa. Mereka kemudian dikaruniai enam anak.
Bangunan yang kini bernama Hotel Sidji awalnya merupakan rumah tempat tinggal Tong Koey dan sang istri selama mereka hidup. Sebagian besar tema dan arsitektur dari rumah tersebut berasal dari ide Tan Seng Nio.
Letnan Tionghoa Pekalongan
Dilansir pada laman The Sidji Hotel, saat pasangan ini berjaya, Pekalongan merupakan kota strategis untuk jalur perdagangan. Banyak dari pengusaha Tiongkok, India, Timur Tengah, dan orang-orang Eropa hilir mudik di wilayah ini. Apalagi, sejak 1800 akhir, batik Pekalongan mulai naik pamor setelah mendapatkan sentuhan baru dari luar negeri seperti adanya zat pewarna baru.
Bersamaan dengan itu, industri tekstil India juga melemah seiring dengan berkembangnya industri tekstil cap asal Eropa. Tong Koey dan sang istri cukup cermat mengambil peluang. Mereka mulai merintis usaha zat pewana batik sekaligus membangun produksi batik rumahan.
Seng Nio terjun langsung dalam hal pengembangan desain hingga pemasaran batiknya. Dalam waktu singkat, bisnis batik mereka berkembang dan menjadi salah satu yang tersukses di Pekalongan. Saking berpengaruhnya mereka pada awal abad ke-20, nama pasangan ini sampai tercatat dalam buku Orang-Orang Tionghoa di Jawa yang terbit pada 1936.
Tong Koey juga aktif dalam sejumlah organisasi. Dia adalah co-founder sekaligus ketua Hoo Gie Hwee serta menjadi anggota dewan THHK dan Joe Gie. Nggak cukup, Tong Koey juga menjadi anggota Bank Umum Perkreditan Rakyat (Algmeene Volkscredietbank) Pekalongan.
Berkat kesuksesan serta perannya dalam berbagai organisasi dan komunitas, Tong Koey didapuk menjadi Letnan Tionghoa pangkat ke-3. Pangkat tersebut adalah yang tertinggi bagi kaum Peranakan dalam hierarki kolonial Belanda. Dia mendapatkan jabatan tersebut dari 1927-1930.
Hotel Untuk Bernostalgia
Dikutip dari Silvia Galikano (15/01/17), rumah peninggalan Tong Koey ini disepakati oleh keluarga untuk dijadikan boutique hotel, bukannya hotel bisnis. Tujuannya adalah agar hotel digunakan sebagai tempat untuk bernostalgia, bukan sebagai bisnis yang dikomersilkan.
Bangunan utama kini dijadikan area lobi. Sementara ruangan yang semula adalah empat kamar tidur kini digunakan sebagai ruang pertemuan. Teras belakangnya diubah menjadi kafe dengan area duduk santai. Pelbagai perabot aslinya pun masih bisa kamu temui di sana, meski ada sejumlah bagian yang diganti dengan yang baru seperti kulit yang ada pada kursi-kursi tua.
Setelah direnovasi pada 2012 sampai 2015, muncul bangunan baru di belakang yang dipisahkan oleh kolam renang dan kafe. Bangunan belakang yang berisi kamar untuk tamu yang menginap sengaja didesain simpel agar tetap meninggalkan kesan kuno. Meski begitu, fasilitas dan fungsi dari bangunan tersebut nggak kalah dari hotel bintang tiga.
Hotel dengan lambang bunga lotus ini banyak sekali kisahnya ya, Millens. Kalau ada kesempatan ke Pekalongan, jangan ragu deh untuk mampir dan menikmati suasana di sana! (Kharisma Ghana Tawakal/E07)