BerandaTradisinesia
Selasa, 12 Agu 2024 17:00

Ngalungi Sapi, Tradisi Menghormati Ternak di Pati saat Suro

Subarwi tengah melaksanakan tradisi ngalungi sapi pada Selasa Kliwon di bulan Suro. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Ketupat dan lepet dirangkai dan dikalungkan di leher sapi; itulah tradisi 'Ngalungi Sapi' di Pati yang digelar pada bulan Suro sebagai simbol syukur dan terima kasih kepada Tuhan.

Inibaru.id - Masyarakat tempo dulu dikenal sangat menghargai semesta, termasuk kepada makhluk hidup yang mendiaminya seperti tumbuhan atau hewan. Pelbagai festival, ritual, atau tradisi, nggak jarang digelar untuk menghormati mereka, termasuk tradisi Ngalungi Sapi di Kabupaten Pati.

Dalam bahasa Jawa, ngalungi berarti memberi kalung. Nah, alih-alih diberikan untuk manusia, kalung ini justru diperuntukkan bagi sapi. Kalungnya juga bukan dari emas atau perak, tapi ketupat dan lepet. Tradisi ini berlangsung tiap memasuki Muharam atau Suro dalam penanggalan Jawa.

Masyarakat Pati mengalungi sapi karena merupakan hewan yang paling banyak mereka ternakkan. Tradisi ini bukan sekadar seremonial, tapi bentuk penghormatan mendalam untuk sapi sebagai hewan ternak yang telah menjadi bagian dari keseharian mereka yang sebagian besar adalah peternak.

Subarwi, salah seorang peternak yang belum lama ini menggelar ritus ngalungi sapi mengatakan, tradisi tersebut diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur dan hingga kini masih dilestarikan tiap Suro. Untuk harinya, dipilih Selasa Kilwon atau Jumat Pahing karena diyakini sebagai hari baik untuk ternak.

Mengingat Jasa Sapi

Sesaji digantung di atas kandang setelah proses pembacaan doa oleh modin selesai. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Subarwi mengungkapkan, tradisi ngalungi sapi lumayan kental di kalangan para peternak di Kabupaten Pati. Tradisi itu, lanjutnya, dilakukan sebagai bentuk syukur kepada sang Pencipta atas kesehatan sapi milik mereka, sekaligus mengenang jasa para ternak terhadap hasil pertanian.

"Ritual dilakukan di kandang sapi. Sebelum pengalungan, ada pembacaan doa oleh modin (pemuka agama) setempat. Lalu, untuk sesajinya ada ketupat, lepet, kembang, dan kepiting," paparnya.

Subarwi menceritakan, ubo rampe yang wajib ada dalam sesaji ngalungi sapi adalah ketupat dan lepet, karena akan dijadikan kalung. Sementara, untuk kepiting, imbuhnya, disertakan untuk menjaga sapi-sapi dari gangguan makhluk gaib.

"Sesaji tersebut nantinya diletakkan dalam satu wadah dan digantung di atas kandang," terang lelaki 50 tahun tersebut.

Mengundang Tetangga

Sesajen berupa ketupat, lepet, kepiting dan kembang didoakan bersama menyan yang dibakar. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Ritual ngalungi sapi dimulai dengan menyalakan dupa di depan sesaji. Setelah modin memanjatkan doa, sapi pun dikalungi dengan ketupat dan lepet. Sementara itu, sesaji yang telah didoakan dan diletakkan dalam satu wadah digantung di atas kandang sebagai simbol perlindungan.

"Kami yang menggelar (ritual ngalungi sapi) kemudian mengundang tetangga untuk berkumpul dan kondangan di rumah," jelas Subarwi. "Pada kesempatan tersebut, kami memanjatkan doa bersama untuk keselamatan hewan ternak."

Selain berdoa bersama untuk keselamatan ternak, imbuhnya, momen tersebut juga digunakan sebagai upaya untuk mempererat kerukunan dan semangat kegotongroyongan antartetangga. Menurut Subarwi, hal ini penting untuk terus dilestarikan karena merupakan "harta" yang nggak ternilai.

"Kebahagiaan dan rasa syukur akan terasa lebih lengkap saat dibagikan kepada sesama, kan?" tandasnya.

Tradisi ngalungi sapi sebaiknya tetap dilindungi dan lestarikan karena merupakan "harta karun" berharga yang akan menghindarkan manusia dari eksploitasi besar-besaran terhadap ternak. (Rizki Arganingsih/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024