Inibaru.id - Gemerincing suara rebana terdengar nyaring mengiringi langkah warga Desa Demaan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, yang berduyun-duyun dari berbagai sudut desa menuju Masjid Al-Mubarok pada Jumat (5/9/2025) pagi.
Di depan masjid, ribuan keranjang kecil dari anyaman bambu berisikan jajanan kemasan, nasi dan lauk, atau ketan khas Kudus, sudah rapi disusun di atas gerobak; siap dikirab. Golok mentok namanya. Tahun ini, lebih dari seribu keranjang telah dipersiapkan, yang nantinya akan diperebutkan pada puncak acara.
Persiapan Kirab Golok-Golok Mentok, tradisi warisan warga Demaan yang dulu pernah mati suri, agaknya sudah komplet. Sudah empat tahun terakhir mereka kembali mengadakan tradisi yang digelar untuk memperingati Maulid Nabi tersebut. Grup terbang papat yang selalu menjadi pengiringnya juga sudah siap.
Terbang papat adalah seni musik khas Kudus yang bernuansa islami, berupa perpaduan perkusi tabuh yang dibunyikan dengan rancak. Pada tradisi ini, terbang papat menjadi pengiring keberangkatan kirab, menandai perjalanan budaya yang nggak sekadar hiburan, tapi tradisi lama berisikan doa dan harapan.
Suasana kian hidup ketika para penabuh terbang papat melantunkan syair-syair selawat di sela ketukan jidur dan rebana. Anak-anak berlarian membawa bendera kecil, sementara para sesepuh desa berdiri khidmat menyaksikan rangkaian acara yang telah diwariskan turun-temurun.
Golok-Golok Mentok dan Terbang Papat
Di balik kemeriahan itu, tradisi Kirab Golok-Golok Mentok nggak hanya menjadi perayaan identitas Demaan, tetapi juga ruang bagi seni-seni lama seperti terbang papat untuk tetap berdegup kencang, mengingatkan bahwa warisan leluhur masih teguh berdiri di tengah arus zaman yang seolah jauh dari akar budaya lama.
Arah suara terbang papat pengiring Kirab Golok-Golok Mentok berpusat di serambi masjid, tempat grup terbang dari Desa Padurenan yang dipimpin Qomarul Adib duduk bersimpuh. Dia menatap khidmat deretan rebana yang berjajar di depannya.
Adib adalah salah seorang dari sejumlah seniman yang memilih untuk terus menabuh, bersuara, dan nguri-uri agar kesenian tersebut tetap hidup di tanah kelahirannya. Dia adalah bagian dari segelintir pemuda yang masih menjadi bagian dari "perjuangan" tersebut.
“Sekarang ini anak muda sudah jarang sekali yang minat dengan Terbang Papat, padahal ini budaya asli Kudus,” ujarnya membuka percakapan seusai merampungkan tugasnya sebagai pengiring kirab. Nada suaranya terdengar prihatin.
Warisan Para Wali
Menurut Adib, anggapan bahwa kesenian tradisional terbang papat sudah bukan zamannya alias kuno adalah persoalan yang harus diurai. Persoalan itu, lanjutnya, perlu dipikirkan bersama-sama. Ini penting, mengingat kesenian itu bukan sekadar sarana hiburan, tapi warisan budaya yang sarat nilai sejarah dan dakwah.
"Kesenian ini merupakan budaya asli Kudus yang lahir dari kreativitas para wali dan ulama Jawa sebagai media dakwah," sebutnya.
Dia pun bercerita, konon pada masa kolonialisme Hindia-Belanda, ketika penjajah melarang masyarakat menjalankan ritual budaya dan keagamaan, lahirlah terbang papat ini.
“Terbang papat adalah strategi para ulama untuk menarik minat masyarakat agar tetap menjaga tradisi seperti mitoni, walimahan, dan lain-lain; sesuai ajaran Islam,” terang Adib. "Terbang papat juga menjadi musik pengiring tradisi Buka Luwur Kanjeng Sunan."
Menjadi Pengiring Hajatan
Menurut sejumlah literatur sejarah, kesenian Terbang Papat telah menjadi bagian dari masyarakat sejak 1936, jauh sebelum Indonesia merdeka. Kala itu, perpaduan jidur dan rebana itu telah menjadi pengiring yang mengakrabi pelbagai hajatan seperti pernikahan, khitanan, hingga puputan.
“Dulu, tiap kecamatan hampir pasti ada grup (terbang papat)-nya. Sekarang, aktivitasnya menurun, hanya didominasi generasi tua,” ungkap Adib, lalu mengembuskan napas panjang.
Oya, nama “Terbang Papat” merujuk pada instrumen utamanya, yakni satu jidur dan empat buah rebana yang terdiri atas kemplong, telon, salahan, dan lajer. Ukuran terbangnya lebih besar dibanding rebana biasa, berdiameter 37–42 sentimeter, menghasilkan dentum khas yang mengentak-entak, tapi tetap hangat.
"Pola ketukannya adalah ketukan enam dan empat. Pola ini menghasilkan irama yang memikat, apalagi saat dipadukan dengan lantunan syair dari Kitab Majmu’ah Syarifil Anam yang durasinya bisa mencapai tiga jam jika dibawakan lengkap," papar Adib.
Menabuh sekaligus Melantunkan
Keunikan lain dari terbang papat adalah bahwa para anggota grup ini nggak hanya dituntut untuk piawai menabuh, tapi juga melantunkan lagu-lagu maulid. Jadi, Adib menuturkan, para penabuh nggak hanya bermain musik, tapi juga berdakwah dengan selawat.
"Terbang papat memang mengajarkan keseimbangan. Di Jawa, ada istilah sedulur papat limo pancer. Nah, empat terbang itu ibarat empat saudara, dan jidur sebagai pancer atau pusatnya. Ini mengingatkan kita tentang keseimbangan hidup, hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan, dan sesama,” jelasnya.
Unsur budaya Jawa memang kental dalam kesenian ini. Meski begitu, Adib menolak anggapan bahwa terbang papat mengandung unsur klenik atau syirik yang kadang disematkan orang lantaran sebagian grup terbang papat acap menaruh wewangian dan menyan di bawah jidur.
"Itu (tradisi menaruh wewangian atau menyan di bawah jidur) hanya cara untuk nguri-nguri budaya leluhur. Tidak ada unsur negatif atau syirik. Kalau sekarang tidak mau dilakukan pun tidak masalah,” katanya menegaskan.
Pernah Sabet Rekor Muri
Adib mengatakan, saat ini ada sekitar 130 grup terbang papat yang tersebar di sejumlah desa di Kudus. Dia berharap akan semakin banyak publikasi yang menyuarakan keberadaan kesenian ini agar tetap hidup dan dikenal masyarakat sebagai bagian dari seni bernapas keagamaan di Kudus.
"Kami pernah menyabet Rekor Muri sebagai penabuh terbang papat terlama pada satu acara bertajuk Mahakarya Kebudayaan Internasional pada Juli 2022. Kami nabuh selama 73 jam tanpa henti. Tiga hari dua malam tanpa jeda, agar kesenian ini dikenal; menunjukkan bukti kesungguhan kami," terang Adib.
Bagi Adib, melestarikan terbang papat bukan hanya soal merengkuh tradisi, tetapi juga menjaga identitas Kudus sebagai kota yang religius. Dia berharap bisa memperkenalkan terbang papat yang asli ke anak cucu, mengajari cara menabuhnya, dan menuturkan filosofi yang menyertainya.
“Terbang Papat punya tagline 'Menebar Sholawat, Menuai Syafaat'. Kalau kami tidak serius, kesenian ini bisa hilang ditelan zaman dan tagline itu bakal kehilangan makna,” ujarnya. "Harapan kami sekarang adalah dilirik generasi muda."
Terbang Papat bukan hanya tentang irama rebana, tapi kepingan perjuangan yang membentuk Kudus, Selama masih ada yang menabuh dan melantunkan syairnya, kisah itu akan tersampaikan dan terwariskan dari generasi ke generasi. (Imam Khanafi/E10)
