BerandaTradisinesia
Kamis, 7 Feb 2024 16:15

Kedaulatan dan Kemandirian Pangan Ala Suku Badui

Pemandangan salah satu orang Suku Badui Dalam saat melintasi lahan pertanian. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Suku Badui atau Urang Kenekes punya cara tersendiri dalam mengelola lahan pertanian. Mereka juga punya konsep ketahanan pangan dengan menyimpan hasil panen di lumbung padi.

Inibaru.id - Sejak nenek moyang mendiami Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Suku Badui hidup berdaulat menjaga ketahanan pangan dan teguh memegang tradisi. Buah dari kemandirian itu bisa dilihat dari adanya lumbung padi atau istilah lainnya disebut Leuit.

Perlu kamu tahu, Suku Badui berprofesi sebagai petani. Saban harinya mereka beraktivitas di ladang. Menariknya, Urang Kanekes, sebutan lain Suku Badui, punya sistem mengolah lahan pertanian yang berbeda pada umumnya.

Salah satu hal yang paling mencolok yakni Suku Badui tidak pernah menggunakan pupuk kimia hingga pestisida. Untuk menumbuhkan padi, mereka memakai pupuk herbal dari daun mengkudu dan dicampur dengan tanaman lainnya.

"Kami panen dalam setahun hanya sekali, umur padinya harus enam bulan. Ini sudah jadi ketentuan adat sejak lama," kata salah seorang tokoh adat Suku Badui, Karmain, pada Inibaru.id belum ini.

Selama bertani, Suku Badui sangat menghormati aturan adat. Ketika proses tanam misalnya, mereka jarang sekali minum air. Hal itu dikarenakan agar mereka tidak sering buang air kecil, sebab sebelum menggarap lahan, Suku Badui melakukan ritual dan ada petuah tidak boleh buang air kecil sembarangan di sekitar lahan yang sudah diberkati tersebut.

Untuk menentukan kapan musim tanam dan musim panen, Suku Badui mengacu pada sebuah kalender khusus. Seperti kalender umum, kalender mereka memiliki 12 bulan dalam setahun. Cuma, penyebutan nama bulan saja yang berbeda.

Prosesi penanaman padi di Suku Badui jatuh pada bulan Kapitu, sedangkan masa panen di bulan Kasa. Setelah masa panen selesai, mereka akan pergi ke leuit untuk menyimpan hasil panen tersebut.

"Hasil bumi seperti durian, petai, madu, pisang dan lain-lain boleh diperjual-belikan ke masyarakat luar. Kecuali padi," ujar Karmain.

Untuk Keperluan Adat

Leuit atau tempat penyimpanan hasil panen Suku Badui. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Dipaparkan Karmain, setiap keluarga Suku Badui punya lumbung padi sendiri-sendiri. Bahkan satu keluarga bisa memiliki tiga tempat penyimpanan padi. Akan tetapi padi-padi yang disimpan di leuit ini tidak dipakai untuk kebutuhan makan mereka sehari-hari.

Untuk konsumsi sehari-hari, baik Suku Badui Dalam maupun Suku Badui Luar membeli beras di luar daerah. Jadi hasil panen hanya digunakan untuk keperluan acara-acara adat.

Konsep seperti itu tak lain untuk menjaga ketahanan pangan. Ketika musim kemarau panjang melanda atau gejala alam tidak bisa ditebak, masyarakat Suku Badui tidak khawatir dengan ketersediaan kebutuhan pokok tersebut.

"Di tempat penyimpan, padi kami bisa bertahan lama sampai 20-30 tahun. Kalau ada apa-apa, kami tidak khawatir karena punya stok ketahanan pangan," bebernya.

Masyarakat Suku Badui selalu makan bersama, duduk lesehan dan melingkar. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Lokasi lumbung padi juga diatur jaraknya dengan pemukiman. Jaraknya cukup jauh dengan rumah penduduk. Alasan itu bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan misalnya musibah kebakaran.

FYI, rumah-rumah panggung Suku Badui mayoritas terbuat dari kayu. Ditambah di dalamnya terdapat tungku api untuk keperluan memasak. Musibah kebakaran tidak bisa terhindarkan jika pemilik rumahnya lalai.

"Di Suku Badui jadwal ngerondanya tidak malam, tapi pagi sampai sore untuk menjaga perkampungan yang ditinggal warganya ke ladang," jelasnya.

Yap, selalu ada alasan yang masuk akal dari tradisi-tradisi yang dijalankan masyarakat Badui. Ini menjadi salah satu alasan kenapa aturan adat di sana masih bertahan dengan baik dari dulu hingga sekarang. Salut! (Fitroh Nurikhsan/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024