BerandaTradisinesia
Senin, 17 Jan 2021 19:00

Gajah Mada, Hayam Wuruk, Lembu Sora; Kenapa Orang Jawa Memakai Nama Binatang?

Zaman dulu, banyak orang Jawa yang menggunakan nama binatang. (GNFI)

Kalau kamu perhatikan, banyak orang Jawa kuno memakai nama binatang untuk namanya, semisal Gajah Mada, Hayam Wuruk, Lembu Sora, dan Kebo Ijo. Kira-kira, kenapa orang Jawa memakai nama binatang, ya?

Inibaru.id – Penamaan ini biasanya banyak ditemukan pada cerita-cerita panji pada karya sastra Jawa zaman dulu. Selain itu, nama binatang untuk menyebut manusia juga bisa kamu temukan pada karya sastra lain seperti Pararaton dan Ranggalawe.

Topik ini sempat disinggung dalam tulisan peneliti dunia sekelas Pigeaud, ahli sastra Jawa dari Belanda. Menurutnya, fenomena penamaan tersebut berkaitan dengan panji (bendera) prajurit yang bergambar binatang. Biasanya, setiap prajurit akan menandai apa yang menjadi miliknya dengan gambar binatang.

“Oleh karena itu, penamaan diri prajurit dengan nama binatang ini juga bersifat heraldic (seni dalam menciptakan dan menghias lambang),” kata Sasongko, ahli epigrafi dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI).

De Caparis, seorang filolog dari Belanda juga menyepakati temuan Pigeaud ini. Katanya, fenomena penamaan tersebut berkaitan dengan identitas mekasirkasir. Istilah ini berasal dari kata kasir-kasir yang artinya panji-panjian atau bendera.

Dia juga menambahkan, nama depan seseorang yang menggunakan nama binatang seperti Gajah, Menjangan, Macan, dan Tikus, pada era Kediri-Majapahit mengindikasikan golongan kasta ksatria. Bisa juga karena berprofesi sebagai tentara.

Salah satu pendapat menambahkan bahwa titel mekasirkasir pada prasasti di Kediri itu ada karena golongan panji-panjian seseorang ditandai dengan lambang bergambar binatang.

Lalu, dari mana Gajah Mada mendapat namanya? Berdasarkan tulisan Agus Aris Munandar, guru besar UI di bidang arkeologi, pada 2010 silam, nama binatang yang dipakai sebagai nama depan merupakan representasi hewan tunggangan dewa Hindu, yakni Airawata, yang merupakan tunggangan dewa Indra.

Kalau melihat lambang kerajaan Majapahit, kamu bakal menemukan gambar dewa-dewa Hindu. Jadi, pendapat ini cukup masuk akal.

Mayoritas Binatang Penghuni Ekosistem Jawa

Ilustrasi macan Jawa. (kids.nationalgeographic)

Sasongko berkesimpulan bahwa nama hewan yang dipakai sebagai nama diri berasal dari hewan yang menghuni bumi Jawa.

Dalam temuannya, nama binatang yang paling banyak dipakai sebagai nama diri adalah Kebo, Gajah, Gagak, Lembu, Macan, Menjangan, Minda, Banyak, Bandeng, Iwak, Katak, Kuda, Layar, Tikus, Anjing, Asu, Babi, Burung, Hayam, Kadal, Kancil, Kura, Lele, dan Lutung.

“Menurut saya, ekosistem tampaknya cukup berpengaruh dalam kemunculan fenomena ini,” ujar Sasongko.

Ada juga nama-nama hewan yang terpengaruh dari kebudayaan India seperti Makara, Naga, Sinha, dan Mahisya. Nggak cuma faktor ekosistem, budaya agrikultur yang dijalankan masyarakat Jawa Kuno kala itu juga turut memberi pengaruh. Buktinya, banyak nama seperti Kebo, Sapi, Minda, Lembu, Banyak, Hayam, Babi, dan sebagainya yang dipakai.

Kemunculan nama-nama ini disinyalir muncul dari masa Rakai Pikatan (abad ke-9 M) sampai masa Majapahit akhir atau awal abad ke-16 M. Puncaknya ditemukan pada masa Krtanegara, Kroncaryyadipa, dan Sarwweswara atau dari masa Kadiri pertengahan hingga Singhasari akhir.

“Ini mungkin dapat dihubungkan dengan politik ekspansi atau diplomasi dari Krtanegara. Itu politik perluasan wilayah di luar pulau Jawa atau yang dikenal dengan Cakrawala Mandala Dwipantara yang melibatkan unsur-unsur militer,” lanjut Sasongko.

Motivasi Penamaan

Airawata, gajah tunggangan Dewa Indra. (Wikipedia)

Merujuk pada konsep makna asosiatif Staffan Nystrom, banyaknya nama diri yang berasal dari nama binatang bisa dianggap sebagai gambaran kendaraan dewa, hewan mitologis Hindu-Buddha, atau binatang yang dihormati dalam kebudayaan Jawa Kuno.

“Jadi menurut saya para penyandangnya barangkali meyakini dan mengharapkan kekuatan dari sifat dewa atau hewan mitologi Hindu-Buddha tertentu termanifestasi dalam dirinya melalui penamaan diri dari nama binatang yang berasosiasi,” kata Sasongko.

Pengharapan dan representasi kekuatan tersebut mungkin berlaku pada binatang-binatang sakral bagi orang Jawa. Hewan-hewan tersebut tentu sangat penting seperti Kebo, Hayam, Manjangan, dan Macan.

Dikenal sakti dan dipercaya membawa kekuatan magis, hewan-hewan itu sering dijadikan persembahan untuk menangkal kekuatan jahat. Masyarakat Jawa Kuno juga percaya hewan-hewan itu sebagai penghubung dengan roh leluhur dan dunia atas.

Intinya, secara umum masyarakat menjadikan nama-nama hewan tersebut sebagai nama diri sebagai wujud penghargaan.

“Sebab dianggap memiliki peran penting dalam kebudayaan masyarakat sehingga menempati tempat istimewa di hati pemakainya,” ujarnya.

Keistimewaan itu menurut Sasongko, dipengaruhi oleh keterkaitan hewan itu dengan para dewa, kedudukannya dalam mitologi Hindu-Buddha, sifat teladan yang tergambar dalam fabel-fabel keagamaan, serta perannya dalam kebudayaan masyarakat Jawa Kuno.

“Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan apresiasi budaya masyarakat Jawa Kuno terhadap alam sekitar,” ujar Sasongko.

Hm, sekarang sudah paham kan kenapa zaman dulu banyak orang Jawa memakai nama binatang? (Kum/IB21/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024