BerandaTradisinesia
Senin, 29 Nov 2020 08:00

Belajar Toleransi dari Pramodhawardani, Ratu Pertama yang Kawin Beda Agama

Belajar Toleransi dari Pramodhawardani, Ratu Pertama yang Kawin Beda Agama

Ilustrasi Pramodhawardani, Ratu Medang penerus Samaratungga. (Indonesian Space Research/Arka Caraka)

Pramodhawardani, putri mahkota Mataram Kuno itu menikah beda agama. Dia memeluk agama Buddha sementara suaminya, Rakai Pikatan beragama Hindu. Bersama memerintah Kerajaan Medang, rakyat hidup damai dan saling menghormati meski berbeda keyakinan.

Inibaru.id – Pramodhawardani mendapat sentimen yang cukup seksis dari Balaputeradewa. Dia dianggap nggak pantas menduduki tahta Kerajaan Medang untuk menggantikan Maharaja Samaratungga, pada 833 Masehi. Sebabnya, dia adalah perempuan. Seharusnya lelaki yang menjadi pemimpin, mungkin begitu pikir Balaputeradewa.

Ada yang menyebut bahwa Balaputeradewa merupakan adik Pramodhawardani. Teori ini ditemukan pada Masatoshi Iguchi, Java Essay: The History and Culture of a Southern Country. Raja Samaratungga menunjuk anak tertuanya, Pramodhawardani, sebagai suksesornya. Penunjukan ini bikin anak lelakinya, kecewa. Dia merasa lebih berhak menjadi raja karena lelaki.

Rupanya, identitas Balaputeradewa sebagai adik Pramodhawardani dibantah. Berdasarkan penelusuran Slamet Muljana dan dituangkan dalam Sriwijaya (2006), Balaputradewa bukanlah adik Pramodhawardani, melainkan pamannya. Saudara Samaratungga ini merasa lebih pantas menjadi raja karena Samaratungga nggak punya anak laki-laki.

Entah Balaputeradewa itu adik atau paman sang ratu, pertikaian sengit keduanya terjadi. Dibantu suaminya, Rakai Pikatan, Pramodhawardani menang. Balaputradewa terpaksa harus minggat dari Medang dan pergi ke Sumatera. Di sana, dia mewarisi Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya, Dharmasetu. Diyakini, Dharmasetu merupakan ayah Balaputeradewa dan Samaratungga.

Dua Wangsa Beda Agama Bersatu

Candi Plaosan didirikan oleh Rakai Pikatan (Hindu) untuk istrinya, Pramodhawardani (Buddha). (d'traveler/Febriansyah)
Candi Plaosan didirikan oleh Rakai Pikatan (Hindu) untuk istrinya, Pramodhawardani (Buddha). (d'traveler/Febriansyah)

Kalau dibilang nikah beda agama banyak mudaratnya, agaknya Pramodhawardani-Rakai Pikatan membuktikan sebaliknya. FYI, pasangan ini berasal dari dua dinasti besar di Jawa. Dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1973), R Soekmono menyebutkan, Pramodhawardhani dari wangsa Syailendra memeluk Buddha aliran Mahayana, sedangkan Rakai Pikatan adalah pangeran dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu aliran Syiwa.

Mungkin, Pramodhawardani merupakan ratu pertama, yang tercatat dalam sejarah Nusantara, yang menikah lintas agama. Tiga abad kemudian, Ken Arok, Raja Singhasari penganut Hindu, mengawini Ken Dedes yang beragama Buddha (Gatra, Volume 12, Masalah 29-32, 2006: ii).

Sebenarnya, wangsa Sanjaya dan Syailendra bersaing satu sama lain. Dinasti Sanjaya pernah menjadi penguasa di Jawa. Kejayaannya berakhir ketika diperintah Rakai Panangkaran (770-792 M), yang kemudian beralih ke Dinasti Syailendra. Rakai Panangkaran merupakan keturunan Ratu Shima (674-732 M), penguasa Jawa dari Kerajaan Kalingga (yang diyakini berada di Jepara).

Bersatunya Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan dianggap sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru (Thomas Wendoris, Mengenal Candi-candi Nusantara). Berkat perkawinan ini pemeluk Buddha dan Hindu bisa hidup rukun di Jawa.

Boleh dibilang kala itu, agama Buddha yang lebih dominan pada dekade awal abad ke-7. Salah satu buktinya ialah pembangunan Candi Borobudur. Kompleks ini dibangun pada era Samaratungga. Namun, yang meresmikan Borobudur adalah Pramodhawardani, pada 824 M.

Didampingi Rakai Pikatan menduduki tahta sejak 833, toleransi beragama semakin kental. Dia mengizinkan suaminya membangun candi-candi Hindu di wilayah Medang. Sebaliknya, Rakai Pikatan pun nggak segan-segan membantu pendirian candi-candi umat Buddha (Sukamto, Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara, 2015: 146).

Rakai Pikatan juga ikut menyumbang untuk pembangunan candi-candhi Buddha tersebut, termasuk di wilayah Plaosan, dekat Prambanan (kini perbatasan antara Yogyakarta dan Kabupaten Klaten). Candi itu dikenal sebagai monumen cinta Rakai Pikatan kepada istrnya, Pramodhawardani.

Candi-candi tersebut didirikan masyarakat secara gotong-royong tanpa memandang agama. Baik Buddha maupun Hindu membantu membangunnya. Hal ini menunjukkan kedamaian dan kerukunan antarumat beragama di bawah pimpinan Pramodhawardani.

Benarkah Pramodhawardani Diperdaya?

Pembangunan Candi Prambanan disebut-sebut untuk menyaingi keberadaan Borobudur. (Freepik)

Ternyata, penyatuan dua tokoh beda wangsa ini menimbulkan persoalan. Rakai Pikatan dipandang lebih dominan dalam pemerintahan ketimbang istrinya. Beberapa referensi menyebut bahwa sebenarnya Rakai Pikatan mengusung misi khusus dalam pernikahannya dengan Pramodhawardani.

Dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia, Asmito (1992) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan sejatinya pengin melenyapkan kekuasaan Wangsa Sailendra. Untuk mencapai maksud tersebut, dia menikahi Pramodhawardani, juga akhirnya berhasil mendepak Balaputradewa (hlm. 90). Dua nama itu menjadi sasaran utama karena mereka kandidat pewaris takhta Dinasti Syailendra.

Usai menyingkirkan Balaputradewa dan menarik hati Pramodhawardani sekaligus ikut memimpin kerajaan milik Wangsa Syailendra, Rakai Pikatan mulai menyebar pengaruh. Sedikit demi sedikit dia mengambil-alih kendali kekuasaan. Dia melakukan hal itu dengan penuh kesabaran selama bertahun-tahun.

Rakai Pikatan melakukan beberapa manuver seperti memindahkan pusat pemerintahan dari Mataram (sekitar Yogyakarta) ke daerah Kedu (dekat Temanggung, Jawa Tengah) dan membangun Candi Prambanan, candi Hindu termegah di Jawa. Menurut beberapa sejarawan, pembangunan Prambanan bertujuan menandingi Borobudur yang menjadi simbol kebesaran agama Buddha.

Ahli epigrafi Jawa asal Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis, bahkan menulis dalam Memuji Prambanan: Bunga Rampai Para Cendekiawan Belanda tentang Kompleks Percandian Loro Jonggrang karya Roy Jordan (2009), bahwa pembangunan Candi Prambanan merupakan bentuk perebutan kekuasaan Dinasti Syailendra dan menjadi tanda kebangkitan Dinasti Sañjaya.

Belum ada kepastian kapan Pramodhawardani meninggal dunia. Namun diperkirakan era pemerintahannya berakhir pada 856 M. Pada tahun-tahun terakhirnya itu, diyakini Rakai Pikatan sudah memegang kendali kekuasaan.

Usai masa Rakai Pikatan, Wangsa Sanjaya memang kembali berkuasa meski nggak pernah sejaya dulu. Kerajaan ini sibuk memadamkan pemberontakan yang nggak ada habisnya.

Meski toleransi antarumat beragama era Pramodhawardani berlangsung singkat, seenggaknya pernah ada masa orang nggak perlu memusuhi karena agama yang berbeda. Bukankah hidup terlalu singkat untuk sekadar bertanya, “Agamamu apa?” Setuju, Millens? (Tir/IB21/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Mengenal Getuk Kethek, Apakah Terkait dengan Monyet?

13 Apr 2025

Di Balik Mitos Suami Nggak Boleh Membunuh Hewan saat Istri sedang Hamil

13 Apr 2025

Kisah Kampung Laut di Cilacap; Dulu Permukiman Prajurit Mataram

13 Apr 2025

Mengapa Manusia Takut Ular?

13 Apr 2025

Nilai Tukar Rupiah Lebih Tinggi, Kita Bisa Liburan Murah di Negara-Negara Ini

13 Apr 2025

Perlu Nggak sih Matikan AC Sebelum Matikan Mesin Mobil?

14 Apr 2025

Antrean Panjang Fenomena 'War' Emas; Fomo atau Memang Melek Investasi?

14 Apr 2025

Tentang Mbah Alian, Inspirasi Nama Kecamatan Ngaliyan di Kota Semarang

14 Apr 2025

Mengenal Oman, Negeri Kaya Tanpa Gedung Pencakar Angkasa

14 Apr 2025

Farikha Sukrotun, Wasit Internasional Bulu Tangkis yang Berawal dari Kasir Toko Bangunan Kudus

14 Apr 2025

Haruskah Tetap Bekerja saat Masalah Pribadi Mengganggu Mood?

14 Apr 2025

Grebeg Getuk 2025 Sukses Meriahkan Hari Jadi ke-1.119 Kota Magelang

14 Apr 2025

Tradisi Bawa Kopi dan Santan dalam Pendakian Gunung Sumbing, Untuk Apa?

15 Apr 2025

Keindahan yang Menakutkan, Salju Turun saat Sakura Mekar di Korea Selatan

15 Apr 2025

Mereka yang Terlibat dalam Suap Putusan 'Onslag' Kasus Korupsi Minyak Goreng

15 Apr 2025

Harus Bagaimana Agar Ambulans Nggak Lagi Kena Tilang ETLE?

15 Apr 2025

Warga Semarang Sambut Gembira Penghapusan Denda Pajak Kendaraan

15 Apr 2025

Berasal dari Tradisi Eropa, Kelinci Paskah Jadi Simbol Kesuburan

15 Apr 2025

Alasan Sejumlah Asosiasi Jurnalis Menolak Program Rumah Subsidi Wartawan

16 Apr 2025

'Burning'; Ketika Ending Sebuah Film Justru Bikin Bingung Penontonnya

16 Apr 2025