BerandaTradisinesia
Senin, 6 Des 2020 11:00

Bedhaya Ketawang, Tarian Sembilan Gadis yang Sakral bagi Wangsa Mataram

Bedhaya Ketawang ditampilkan dalam upacara peringatan penobatan Raja di Solo. (Pesona Travel)

Setahun sekali, tepatnya pada peringatan penobatan Raja Paku Buwono, Tari Bedhaya Ketawang ditampilkan. Tari ini merupakan yang paling sakral dari Trah Mataram. Konon, Bedhaya Ketawang sering dikaitkan dengan Nyi Roro Kidul.

Inibaru.id – Kalau diblejeti dari namanya, bedhaya artinya perempuan penari, sementara ketawang berasal dari kata tawang yang memiliki arti langit. Nah, Tari Bedhaya Ketawang kerap disebut sebagai tarian dari langit.

Tapi ada versi lain lagi, Millens. Ada yang menyebut bahwa bedhaya merupakan bahasa Sansekerta budh yang berarti pikiran atau budi. Kata ini kemudian berubah menjadi budaya. Tarian ini diciptakan melalui proses olah pikir dan rasa sebagaimana produk budaya lainnya.

O ya, tarian ini dianggap sakral sehingga nggak sembarang penari bisa membawakannya. Ada syarat yang nggak bisa ditawar oleh sembilan gadis yang membawakannya yaitu masih perawan dan nggak sedang datang bulan. Bukan cuma itu, mereka juga harus puasa beberapa hari sebelum pentas.

Asal Muasal Bedhaya Ketawang

Lukisan 9 penari Bedhaya Ketawang yang salah seorangnya Kanjeng Ratu Kidul karya S Pandji (2006). (Nusantara News)

Tarian sakral tentu memiliki asal usul yang nggak biasa. Konon, raja ketiga Mataram yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), sayup-sayup mendengar suara tembang dari arah langit ketika bersemedi. Kejadian itu membuatnya terkesima.

Usai semedi, Sultan menceritakan pengalamannya kepada empat petinggi setia keraton, yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Mereka lantas meminta Sultan Agung untuk menciptakan tarian. Kelak, tarian ini disebut Bedhaya Ketawang.

Versi lainnya, tarian ini muncul pada masa pemerintahan raja sebelum Sultan Agung, yaitu Panembahan Senapati. Konon ketika bertapa, Panembahan Senapati bersenggama dengan Ratu Kencanasari yang kemudian memunculkan tarian ini. Namun kenyataannya, syair tembang pengiring Bedhaya Ketawang berisi curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja.

Dalam Kitab Wedhapradagna tertulis bahwa Bedhaya Ketawang diciptakan oleh Sultan Agung. Sultan meminta bantuan Kanjeng Ratu Kidul untuk mengajarkan gerakan tarian kepada para penari kerajaan secara langsung. Diceritakan bahwa setiap malam Anggoro Kasih (Selasa Kliwon), para penari berlatih menarikan Bedhaya Ketawang. Katanya lagi, salah seorang dari sembilan penari itu adalah Nyi Roro Kidul. Hmm!

Menjadi Legitimasi Kekuasaan

Lukisan Nyi Roro Kidul karya Basuki Abdullah. (Dimensi News)

Secara turun-temurun, tarian ini dibawakan setiap acara Tingalan Jemenengan atau peringatan raja naik tahta di Keraton Mataram. Pasca-Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membelah Kerajaan Mataram, tarian ini jatuh ke tangan Keraton Kasunanan Surakarta.

FYI, Bedhaya Ketawang memang beda banget dari tari tradisional Jawa lain, Millens. Alur gerakan terasa lambat diiringi irama gamelan yang terdengar halus. Musik pengiringnya adalah Gending Ketawang Ageng berdana pelog dengan instrumen gambang, rebab, gender, seruling, kethuk, kenok, gong, kendhang, dan kemanak.

Selain berisi gending, pada babak-babak awal tarian ini terdapat pula tembang durma. Kemudian dilanjutkan dengan tembang ratnamulya. Pada babak kedua, Bedhaya Ketawang berkisah tentang pernikahan raja dan Nyi Loro Kidul. Nggak heran jika menampilkan gerakan sensual. Babak terakhir mengisahkan perpisahan raja dengan Kanjeng Ratu Kidul karena berbeda dunia.

Kamu mungkin bertanya-tanya kenapa Raja-raja Mataram, terutama pada masa Panembahan Senopati dan Sultan Agung sering dikaitkan dengan Ratu Pantai Selatan dalam cerita lisan maupun babad. Sangat dimungkinkan hal ini nggak lepas dari upaya legitimasi kekuasaan para raja.

Jadi begini, dengan menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib, seorang raja bakal mendapatkan legitimasi yang kuat. Keuntungannya mengurangi kemungkinan munculnya pemberontakan. Rakyat juga merasa tenang karena negaranya dilindungi kekuatan yang besar.

Nggak heran jika tarian ini dipertahankan Paku Buwono III agar tetap di Kasunanan Surakarta ketika Giyanti. Sebagai tandingan, Kasultanan Yogyakarta menciptakan tarian Bedhaya Semang. Hm, benar-benar perang budaya ya?

Sembilan Gadis Penari

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, jumlah penari Bedhaya Ketawang berjumlah sembilan. Angka ini dipercaya sebagai simbol 9 arah mata angin. Orang Jawa klasik meyakini ada 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin tersebut (Nawasanga).

Kesembilan dewa tersebut adalah Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah).

Nah, para penari mewakili masing-masing dewa yang menjaga keseimbangan alam mikrokosmos (jagat kecil) dan makrokosmos (jagat besar). Seperti itulah pemahaman kosmologi masyarakat Jawa sejak ratusan tahun silam.

Eits, masih ada pemaknaan lainnya, lo. Para penari Bedhaya Ketawang yang memakai pakaian pengantin basahan Surakarta menjadi simbol bahwa manusia harus bisa menutup 9 lubang di tubuhnya. Angka sembilan juga menggambrkan alam semesta dan isinya yaitu matahari, bintang, bulan, angkasa (langit), bumi (tanah), air, angin, api, dan seluruh makhluk hidup yang ada di dunia.

Gimana, menarik banget ya Tari Bedhaya Ketawang ini. Kamu penasaran nggak dengan tarian ini, Millens? (Tumpi/IB21/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024