BerandaSenandika
Rabu, 23 Des 2025 15:01

Kebijakan 'Gemar' dan Tantangan Keterlibatan Ayah dalam Pendidikan Anak

Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah (Gemar) dan segala pro kontranya. (Inibaru.id/ Marita Ningtyas)

Dianggap sekadar seremonial dan kurang inklusif, Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah (Gemar) memantik kritik dari berbagai pihak. Padahal, dengan sejumlah catatan, kebijakan nasional dan daerah ini seharusnya bisa menjadi pintu masuk menuju keterlibatan ayah dalam pendidikan anak.

Inibaru.id - Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak (Gemar) belakangan menjadi perbincangan luas di ruang publik. Kebijakan ini memantik pro dan kontra, terutama terkait efektivitasnya serta potensi dampaknya bagi anak-anak dari keluarga dengan kondisi "non-ideal".

Namun di balik polemik tersebut, Gemar sejatinya membuka diskursus penting tentang arah kebijakan pengasuhan dan pendidikan keluarga di Indonesia, asalkan sifatnya nggak sekadar imbauan normatif dan simbolik.

Di Kota Semarang, imbauan tersebut mengemuka disertai Surat Edaran Nomor: B/6711/400.3.1/XII/2025 tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah (Gemar).

Sementara itu, di tingkat nasional, kebijakan ini tertera dalam Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN RI Nomor 14 Tahun 2025, serta Surat Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah Nomor B-1600/PK.02.01/J12/2025 tertanggal 15 Desember 2025.

Rangkaian kebijakan ini menandakan bahwa Gemar seharusnya merupakan bagian dari strategi pembangunan keluarga, bukan kebijakan spontan tanpa kerangka.

Membidik Keterlibatan Ayah

Latar belakang utama lahirnya Gemar adalah meningkatnya perhatian terhadap minimnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Istilah fatherless—terlepas dari perdebatan statistiknya—kini menjadi isu sosial yang semakin disadari dampaknya.

Berdasarkan berbagai riset, ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan berdampak terhadap perkembangan emosional, karakter, dan keberlanjutan pendidikan anak. Dalam konteks ini, kehadiran ayah nggak lagi dipahami sebatas pemenuhan ekonomi, tapi juga keterlibatan langsung dalam proses pendidikan.

Kritik yang kerap muncul terhadap Gemar berfokus pada efektivitas kebijakan. Apakah kehadiran ayah yang bersifat insidental, misalnya mengambil rapor, cukup untuk mendorong perubahan pola pengasuhan yang lebih setara?

Pertanyaan ini valid. Namun, dalam kerangka kebijakan publik, perubahan perilaku sosial jarang lahir dari intervensi besar sekaligus. Ia sering dimulai dari langkah-langkah kecil yang berfungsi sebagai pemicu kesadaran.

Gemar dapat dipahami sebagai kebijakan pintu masuk (entry point policy) yang bertujuan untuk menormalisasi kehadiran ayah dalam ruang pendidikan anak. Kehadiran ayah di sekolah, meskipun terbatas pada momen tertentu, berpotensi membuka relasi baru antara ayah, guru, dan institusi pendidikan.

Dari relasi inilah kesadaran peran dapat tumbuh, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu memengaruhi praktik pengasuhan di rumah.

Dianggap Kurang Inklusif

Momen ambil rapor anak dan keterlibatan ayah dalam pendidikan. (Inibaru.id/ Marita Ningtyas)

Kelompok yang menolak Gemar umumnya mengangkat isu inklusivitas, terutama bagi anak yatim, anak dari keluarga bercerai, atau keluarga dengan kondisi kerja jarak jauh. Dari sudut pandang ini, nggak salah jika ada yang mengatakan bahwa kebijakan ini kurang inklusif.

Pendapat itu nggak terbantahkan. Kekhawatiran terhadap potensi dampak psikologis pada anak ini juga patut dihargai. Namun, menempatkan isu ini sebagai alasan utama penolakan kebijakan tersebut justru berisiko mengaburkan tujuan awal Gemar.

Secara kebijakan, Gemar ditujukan bagi keluarga yang masih memiliki figur ayah dan ibu. Ini bukan bentuk pengabaian terhadap keluarga non-ideal, melainkan penetapan sasaran kebijakan yang jelas.

Justru dengan adanya Gemar, sekolah dan orang dewasa didorong untuk lebih peka terhadap keragaman kondisi keluarga sekaligus membuka ruang dialog dengan anak-anak tentang situasi hidup mereka; sesuatu yang selama ini kerap terlewatkan.

Alih-alih meniadakan kebijakan karena dianggap nggak mencakup semua kondisi, pendekatan yang lebih produktif adalah memperkuat kebijakan pendampingan bagi anak-anak dengan latar keluarga khusus. Dengan begitu, ia justru berjalan berdampingan dengan kebijakan perlindungan dan penguatan psikososial anak, kan?

Keterlibatan Ayah Bukan Konsep Baru

Dalam praktik pendidikan, keterlibatan ayah sejatinya bukan konsep baru. Sejumlah institusi pendidikan telah lama menempatkan ayah sebagai aktor utama dalam pendidikan keluarga, bahkan menjadikannya syarat dalam momen-momen evaluasi belajar anak.

Praktik ini menunjukkan bahwa ketika kebijakan pendidikan dan pengasuhan berjalan beriringan, peran ayah dapat diperkuat secara struktural, bukan hanya moral.

Di titik inilah Gemar perlu dibaca secara lebih strategis. Kebijakan itu nggak akan pernah cukup kalau hanya berhenti pada seremonial kehadiran ayah di sekolah. Ia harus diikuti dengan narasi kebijakan yang konsisten, dukungan institusional dari sekolah, serta literasi pengasuhan yang menempatkan ayah dan ibu sebagai mitra setara dalam pendidikan anak.

Mengambil rapor anak seharusnya dimaknai sebagai momen refleksi bersama antara orang tua dan sekolah tentang proses belajar, perkembangan karakter, dan kualitas pendampingan di rumah. Bukan sekadar evaluasi nilai akademik, tetapi juga ekosistem pengasuhan.

Dengan segala keterbatasannya, Gemar membuka ruang penting bagi transformasi budaya pengasuhan di Indonesia. Tantangannya bukan pada ada atau tiadanya kebijakan, melainkan pada keberanian negara dan masyarakat untuk menjadikannya sebagai pintu masuk perubahan yang lebih substansial.

Jika kebijakan itu bisa menjadi batu pijakan untuk bertolak dari pola pengasuhan yang timpang menuju keterlibatan orang tua yang lebih adil, sadar, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, kenapa tidak? (Marita Ningtyas/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Berbagai Keseruan yang Bisa Kamu Sambangi saat Musim Dingin di Seoul

11 Des 2025

Mencicipi Rasa Legendaris di Bakmi Jawa Pak Bagyo Magelang

11 Des 2025

Bebas Pilih Menu; Makan Gratis di Warmah Semarang untuk Korban Bencana Sumatra

11 Des 2025

Yang Harus Diperhatikan Generasi Muda saat Mempersiapkan Dana Pensiun

11 Des 2025

Plankton, Rahasia Warna-warni Kinclong Ikan Koi

11 Des 2025

Alas Krendowahono Bukan Sekadar Hutan, tapi Pusat Ritual Sakral

11 Des 2025

PLTN Pertama di Indonesia Ditargetkan Beroperasi 2032, Begini Rincian Rencananya

12 Des 2025

Kenapa Sih saat Foto Paspor Nggak Boleh Senyum? Ini Alasannya

12 Des 2025

Setahun Terakhir, Ada 43 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Jateng

12 Des 2025

Banjir Semakin Parah, Jateng Susun Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

12 Des 2025

Inspirasi Sepekan; dari Kiai Mangrove hingga Aksi 'Warga Bantu Warga' di Kota Lunpia

12 Des 2025

Tanpa Keseimbangan Hulu-Hilir, Banjir Permanen Hantui Pantura Jateng

12 Des 2025

Dua Arca Diduga dari Abad ke-10 Ditemukan di Sragen, Ada Teko Jepang Ikut Terkubur!

12 Des 2025

Kisah Kadjo, Abdi Dalem Muda dari Solo yang Dikirim ke Belgia dan Sukses Jadi Ahli Arloji!

12 Des 2025

Pentingnya Memahami Pencegahan dan Penanganan Pertama Kebakaran

13 Des 2025

Mengapa Semakin Banyak Gen Z yang Kosongkan Profil Instagramnya?

13 Des 2025

Mitigasi Banjir Kota Semarang; Pakai 'Bola GPS' untuk Lacak Titik Penyumbatan Air

13 Des 2025

Tanda-Tanda Awal Autisme pada Bayi dan Balita; Mengapa Deteksi Dini Penting?

13 Des 2025

Soal Ilegal Logging; Prabowo Janji Sikat Habis Pelaku

13 Des 2025

Labeli Angker, Cara Cerdas Leluhur Jaga Pohon?

13 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: