Inibaru.id - Di bawah tenda pameran UMKM di halaman Balai Kota Semarang, Indah Prihatiningsih, pemilik Ekkyta Collection duduk dengan tenang, tapi jemarinya lincah menari di atas gulungan benang, menuntaskan seutas tali tas yang belum selesai.
Sesekali, perempuan 60 tahun itu juga terlihat mengangkat wajah, menyapa pengunjung yang mampir, sebelum kembali pada ritme rajutannya.
Tas rajut buatan tangan dari perempuan kreatif asal Kota Semarang yang sehari-hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga tersebut telah menempuh perjalanan jauh: menembus pasar dunia, menguatkan pejuang kanker, dan membuka ruang pemberdayaan bagi warga binaan Lapas Perempuan Semarang.
"Merajut itu awalnya hanya hobi. Karena anak-anak sudah besar, saya mengisi waktu luang dengan merajut. Saya ibu rumah tangga, ikut suami dinas di daerah terpencil, sehingga memilih fokus mengurus anak-anak," ujar Indah saat ditemui Inibaru.id akhir November lalu.
Indah mengaku belajar merajut secara autodidak sejak 2011. Gurunya adalah internet dan Youtube. Awal-awal berkreasi, dia hanya membuat taplak meja dan dompet kecil. Namun, seiring waktu, keterampilannya meningkat hingga bisa membuat tas rajut sendiri.
Sedikit demi sedikit, dunia rajut yang awalnya hanya pengisi waktu luang justru menjadi peluang. Indah merasa bangkit dan berdaya. Sembari melakoni keseharian sebagai ibu rumah tangga, dia mulai bisa melihat betapa besar peluang bisnis yang tersimpan dalam setiap karyanya.
Tembus Dubai dan Eropa
Pada 2017, ketika sebagian besar pelaku UMKM masih berkutat di pasar lokal, Indah justru sudah merasakan aroma pasar global. Melalui PT Mas di Solo, dia dipercaya mengerjakan produk home decor untuk dikirim ke negara-negara di Eropa.
Sistemnya maklun; perusahaan menyediakan bahan, lalu Indah menangani produksi dan merekrut tenaga kerja yang dia latih sendiri.
Tas rajut buatan Indah merambah hingga Dubai setelah karya-karyanya dua kali lolos kurasi mengikuti pameran BRI UMKM EXPO(RT). Dalam sesi business matching, dia bertemu buyer luar negeri yang kemudian memesan 1.000 tas makram untuk pasar Dubai.
"Semula diminta selesai satu bulan, saya nggak sanggup. Akhirnya dinego jadi lima bulan, per bulan 200 pieces. Saya ngajari orang-orang, mereka ikut mengerjakan," ungkap Indah.
Di antara banyak teknik, tapestri menjadi yang paling dia kuasai karena memungkinkan eksplorasi pola dan gambar. Dari sinilah lahir tas rajut bermotif batik berbahan dasar kulit yang harganya menyentuh angka Rp900 ribu per item.
Menguatkan Anak Penyandang Kanker
Namun, di antara deretan pencapaian tersebut, ada satu bab yang paling mengesankan di pikiran Indah, yakni perjalanannya keliling Indonesia mengedukasi cara mengolah plastik menjadi tas rajut, kemudian mendonasikan hasil kegiatannya untuk menguatkan anak-anak penyandang kanker.
"Tahun 2019 itu kan lagi ramainya kampanye pengurangan plastik. Buat saya, plastik itu memang sulit dihilangkan total. Jadi, bagaimana cara mengurangi, bagi saya salah satunya ya diubah jadi tas rajut, karena bisa dipakai selama bertahun-tahun," kata Indah.
Plastik-plastik itu dipotong selebar kurang lebih dua sentimeter, lalu dirajut seperti biasa. Prosesnya memang lebih sulit dibanding merajut benang biasa, tetapi hasilnya kuat dan tahan lama. Namun, karya ini bukanlah produk komersial utama. Dia lebih sering membawanya untuk kampanye reduksi sampah sekali pakai.
Profit memang nggak selalu menjadi tujuan utamanya berkarya. Bahkan, pada pameran ini pun, dia dan temannya sudah sepakat untuk menyumbangkan dana yang terkumpul ke Yayasan Kanker Anak Indonesia sebagai dukungan moral bagi anak-anak yang tengah berjuang melawan penyakit ganas itu.
"Tidak semua hal harus berupa profit. Saya senang kalau apa yang saya kerjakan bisa bermanfaat buat orang lain," lontarnya.
Memberdayakan Warga Binaan Lapas Perempuan
Jiwa sosial Indah terus tumbuh, termasuk dalam berbagi ilmu. Ibu tiga anak itu mengaku akan dengan senang hati membagikannya, termasuk saat mengajari warga binaan di Lapas Perempuan Semarang merajut tanpa meminta bayaran sepeser pun.
"Di Lapas Perempuan itu saya nggak dibayar sama sekali. Murni untuk berbagi ilmu. Kalau ada yang benar-benar tertarik, saya kasih alatnya, saya kasih benangnya. Biar nanti kalau mereka keluar (bebas), bisa melanjutkan yang dia bisa," paparnya.
Warga binaan yang telah diajari Indah juga diberdayakan untuk membantu produksi. Bahan dan desain berasal darinya, lalu mereka mengerjakan sesuai kemampuan dan waktu. Setiap pekerjaan mereka tetap dibayar sebagai tambahan penghasilan dari dalam penjara.
Bagi Indah, menguatkan penyandang kanker dan berbagi ilmu dengan warga binaan adalah dua wajah dari misi yang sama, yakni untuk memanusiakan manusia lewat keterampilan. Merajut baginya bukan lagi sekadar aktivitas tangan, melainkan cara menyalurkan empati.
Saat ini Indah hanya dibantu satu karyawan tetap yang menjaga tokonya di kawasan Sambiroto. Proses produksi sehari-harinya masih dikerjakan sendiri, tetapi jika pesanan membludak, barulah dia melibatkan orang lain.
"Saya nggak menyangka bisa sejauh ini. Saat pandemi Covid-19, saya sempat kena saraf terjepit. Suami menyarankan untuk berhenti dan menjual seluruh benang. Namun, meski sudah didiskon, benang-benang itu nggak laku. Artinya, saya disuruh untuk terus merajut," tukas Indah, lalu tertawa ringan.
Nggak hanya menghasilkan profit, keterampilan merajut Indah juga telah menjalin asa untuk para penyandang kanker dan warga binaan di lapas. Panjang umur ya, Bu Indah! (Sundara/E10)
