BerandaPasar Kreatif
Jumat, 21 Jan 2021 13:57

Satu Alasan Mengapa Harga Sarang Burung Walet Mahal: Bikin Panjang Umur!

Sarang burung walet mahal karena sejumlah faktor, salah satunya dipercaya bikin panjang umur. (Pixabay/Psubraty)

Harga sarang burung walet di pasaran mahal karena sejumlah faktor, mulai dari cara mengapatkannya yang nggak gampang hingga pembudidayaannya yang sulit. Namun, ada satu faktor lain, yakni sarang dari air liur walet ini dipercaya bikin panjang umur.

Inibaru.id – Prospek ekspor sarang burung walet diyakini akan kian cerah setelah Indonesia sepakat menjalin kerja sama dengan Tiongkok. Sarang burung walet atau yang sering disebut edible bird's nest memang menjadi komoditas yang prospektif di Indonesia. Nilainya cenderung naik dari tahun ke tahun.

Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang menungkapkan, nilai transaksi ekspor burung walet pada 2019 sekitar Rp 1,2 triliun dengan pengiriman sekitar 55,4 kilogram. Pada 2020, nilainya meningkat menjadi Rp 1,5 triliun dengan jumlah ekspor pada kisaran 64 kilogram.

Tren kenaikan nilai ekspor pada komoditas ini tentu menjadi angin segar bagi para petani sarang burung walet di Indonesia. Namun, peningkatan nilai jual ini tentu saja sebanding dengan proses mendapatkan sarang si Collocalia vestita tersebut.

Perlu Perjuangan

Sarang burung walet nggak mudah dibudidayakan. (Hulondalo)

Perlu kamu tahu, sarang burung walet murni terbuat dari air liur dari burung yang masih berkerabat dengan kolibri itu. Burung-burung ini umumnya membuat sarang di langit-langit gua atau tebing untuk menghindarkan telur atau anak-anaknya dari para predator.

Maka, sangat wajar kalau harga sarang burung walet dibanderol sangat tinggi. Sebuah toko daring menjual sarang ini dengan harga Rp 350 ribu per 17 gram. Artinya, kalau memiliki satu kilogram sarang burung walet, kamu bisa meraup keuntungan sekitar Rp 20,5 juta. Lumayan menggiurkan, bukan?

Inilah kenapa banyak orang bersedia bertaruh nyawa untuk memburu sarang burung walet di tebing-tebing curam atau dinding gua yang sulit untuk dijangkau. Selain sulit dijangkau, nilai gizi pada olahan sarang burung walet juga menjadi faktor lain yang membuatnya ditakar dengan harga tinggi.

Manfaat yang Tinggi

Sup sarang burung walet. (Hellonests)

Di Tiongkok, penduduk setempat biasa menjadikan sarang burung walet sebagai sup yang diyakini mampu memberikan manfaat kesehatan, terutama ibu hamil. Sup ini juga baik untuk kesehatan paru-paru. Namun, harganya yang selangit membuat menu ini hanya bisa ditemukan di restoran kelas atas.

Setali tiga uang, sup sarang burung walet juga cuma bisa kamu temukan di restoran menengah ke atas. Harganya? Untuk menikmati sup ini, kamu perlu merogoh kocek antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu, bahkan lebih dari itu.

Faktor lain yang juga memengaruhi mahalnya harga sup sarang burung walet adalah karena adanya kepercayaan bahwa makanan ini dulu hanya dikonsumsi oleh para raja atau bangsawan di Tiongkok. Meski belum ada penelitian lebih lanjut, konon masakan ini mampu memanjangkan umur. Entahlah!

Sulit Dibudidayakan

Pembudidayaan burung walet sangat sulit dilakukan. (Birdnest)

Membudidayakan burung walet untuk diambil sarangnya bukanlah satu hal yang mustahil. Namun, agak sulit dilakukan. Budi daya sarang burung walet hasilnya nggak banyak dan belum tentu sesuai kebutuhan pasar.

Sebagai gambaran, masa panen sarang burung walet sekitar tiga bulan sekali dengan hasil nggak lebih dari 30 kilogram per panen. Itu pun belum tentu berkualitas baik. Sebagai contoh, sarang burung walet yang bisa dijual hanyalah yang berwarna putih.

Selain itu, bentuk sarang burung walet juga sangat menentukan harga. Sarang yang berbentuk mirip mangkok, dibanderol jauh lebih mahal ketimbang yang berbentuk segitiga. Sarang jenis inilah yang memiliki kualitas ekspor.

Permintaan yang semakin tinggi dengan stok yang nggak banyak inilah yang otomatis membuat harga sarang burung walet kian melambung. Maka, kalau kamu berniat nyebur di bisnis ini, masih ada peluang, lo, Millens! (Lif/IB09/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024