BerandaKulinary
Minggu, 19 Feb 2022 08:00

Tradisional hingga Modern; Menu Olahan Mamey Sapote

Dua jenis mamey sapote, magana (kiri) dan sanur (kanan). (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Di Indonesia, buah tropis bercita rasa perpaduan sawo dan labu ini kebanyakan hanya dimakan segar, padahal ada banyak menu berbahan dasar mamey sapote di negeri asalnya, mulai dari yang tradisional hingga modern. Apa saja?

Inibaru.id – Kulitnya kasar seperti kertas ampelas, tapi daging buahnya halus dan lembut, berwarna orange kemerahan dengan biji seukuran telur ayam berwarna hitam mengilat. Bentuknya bulat hingga lonjong; sekilas mirip sawo kecik, tapi dengan ukuran jauh lebih besar, seberat kisaran 3 kilogram.

Itulah gambaran umum mamey sapote, buah "sawo raksasa" yang banyak dibudidayakan di negara-negara tropis di Amerika Tengah, Meksiko, Karibia, dan Florida. Kali pertama melihat buah tropis nan eksotis ini di sebuah marketplace, yang ada di otak saya adalah: Ah, telur dinosaurus! Ha-ha.

Di Kota Semarang, belum banyak yang membudidayakan buah dengan nama Latin Pouteria sapota ini. Salah seorang pembudi daya yang saya kenal adalah Nanad Tri Yunadi Putra, pemilik Jatimas Nursey Mijen. Kebun mamey sapote miliknya berlokasi di Gunungpati.

Jangankan melakukan budi daya, sepenuturan Nanad, hanya sedikit orang yang mengenal buah kaya serat ini. Kalaupun ada yang mengetahuinya, kebanyakan adalah kalangan kolektor tanaman eksotis atau pelaku agrobisnis seperti dirinya.

Satu mamey sapote dengan berat 2,5 kilogram. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Nanad tentu saja nggak mengada-ada. Hingga kini, lelaki yang mulai menanam mamey sapote pada 2014 itu mengaku nggak banyak menjual bibit ke orang Semarang. Permintaan justru lebih banyak datang dari luar kota.

“Semarang jarang. Saya malah lebih sering kirim (bibit) ke luar kota,” ujar Nanad di toko buahnya, awal Februari silam.

Untuk penjualan bibit, satu pohon setinggi satu meteran biasanya dibanderol Nanad sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Sementara, bibit dengan ukuran yang lebih tinggi dari itu dihargai Rp 3,5 juta sampai Rp 5 juta per batang.

Selain bibit, Nanad juga menjual buahnya. Tiap bulan dia bisa melepas sekitar 75 hingga 100 buah dengan harga satuan Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu. Jika ditotal, omzet penjualan bibit dan buah mamey sapote dalam sebulan mencapai Rp 20 juta.

"Hingga kini, pangsa pasar mamey sapote baru buah dan bibit saja," tutur lelaki asal Sragen tersebut.

Perbedaan ukuran mamey sapote jenis magana dengan sawo pada umunya. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Menurut Nanad, mamey sapote memang belum seterkenal sawo kecik atau sawo manila (Manilkara kauki) di Indonesia. Jadi, kebanyakan orang hanya mengonsumsi mamey sapote sebagai buah segar. Selain itu, sifatnya yang mudah busuk pascapetik membuatnya sulit disimpan untuk waktu lama.

"Paling lama tahan tiga hingga empat hari saja setelah dipetik; kalau mau lebih lama harus dimasukkan ke dalam lemari pendingin," terang Nanad.

Laiknya sifat sawo kecik, dia melanjutkan, mamey sapote memang nggak bisa langsung bisa dimakan sesaat setelah dipetik. Harus menunggu beberapa hari dulu untuk siap dimakan. Namun, begitu masak, buah ini kudu segera dimakan agar nggak terlalu matang, terlalu empuk, atau busuk.

“Karena emang cepet empuk ini, jadi paling baru diolah untuk smoothie. Sementara ini belum ada olahan lain,” ungkap Nanad sembari membenarkan letak topinya.

Olahan Mamey Sapote di Dunia

Daging buah mamey sapote matang akan berwarna 'menyala' orange kemerahan. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Sebagai masyarakat yang belum lama membudidayakan mamey sapote, sangat wajar kalau orang Indonesia belum begitu familiar dengan buah bercita rasa manis dominan yang bisa berkali-kali lipat dibanding sawo kecik tersebut. Namun, ini berbeda dengan negeri asalnya, yakni Meksiko.

Di negara yang berbatasan dengan Amerika Serikat tersebut, konon mamey sapote sudah menjadi sajian penting untuk Kekaisaran Aztec yang berdiri di Meksiko pada abad ke-13. Hingga kini, mamey sapote menjadi satu dari sedikit buah pra-Hispanik (sebelum invasi Spanyol) yang masih dikonsumsi masyarakat modern di sana.

Selain dimakan sebagai buah segar, mamey sapote juga biasa disajikan sebagai minuman atau dessert. Helado de Mamey atau es krim mamey menjadi salah satu menu populer di Meksiko. Nggak hanya di sana, menu itu juga umum disajikan komunitas Hispanik di pelbagai negeri pada musim panas.

Rasanya yang manis dominan; mirip sawo, tapi dengan cita rasa tambahan berupa perpaduan labu dan ubi; membuat mamey sapote sering diolah menjadi minuman dingin setipe es krim, termasuk smoothie, milkshake, sorbet, dan gelato. Teksturnya juga lembut seperti alpukat.

Mamey sapota usia sekitar tiga bulanan yang masih pada pohon. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Mamey sapote yang memiliki warna "menyala" juga sering dijadikan sebagai kondimen kue atau keik, di samping minuman dan dessert beku. Di kalangan masyarakat keturunan Hispanik di Amerika, buah ini juga menjadi bagian dari puding, custart, atau pie.

Mamey Flan, puding karamel Hispanik berbahan dasar mamey sapote, menjadi salah satu hidangan penutup terkenal yang kerap disajikan di kafe-kafe Spanyol. Rasanya? Hm, silakan cari tahu sendiri ya. Saya juga belum pernah coba! Ha-ha.

Nggak hanya buah, Meksiko juga menjadikan biji mamey sapote sebagai minuman spesial mereka. Tejate namanya; sebuah minuman tradisional asal Oaxaca, Meksiko yang disajikan dingin, terbuat dari jagung panggang, fermentasi biji kakao, rosita de cacao, dan biji mamey panggang.

Terus, di kanal Youtube, belakangan juga ada yang memanggang buah mamey sapote setengah matang layaknya toasted potatoes. Saat belum matang, rasa buah ini memang mirip sweet potato dengan tekstur seperti talas mentah yang berserat.

Wah, selain disajikan sebagai buah segar, sejatinya ada banyak olahan mamey sapote yang bisa dikreasikan ya, Millens. Namun, dengan harga yang mencapai ratusan ribu rupiah per buah, kira-kira berapa harga jual olahan mamey sapote ini ya? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024