BerandaKulinary
Minggu, 10 Jun 2023 12:24

Sejarah Dawet Ireng Purworejo yang Tercipta untuk Petani

Dawet ireng khas Purworejo. (Sweetrip.id)

Sejarah dawet ireng, minuman khas Purworejo ternyata cukup unik. Warung yang berlokasi di dekat Jembatan Butuh ini semula dibuat untuk memberikan kesegaran bagi para petani.

Inibaru.id – Dawet ireng dikenal sebagai minuman khas Purworejo, Jawa Tengah. Sensasi segar dari minuman ini mirip dengan yang kamu rasakan jika kamu minum dawet ayu khas Banjarnegara atau es cendol. Namun, berbeda dengan dawet ayu yang mamakai cendol hijau, dawet ireng memakai cendol berwarna hitam.

Dalam bahasa Jawa, ireng bermakna hitam. Cendol hitam pada dawet ireng yang bertekstur kenyal terbuat dari sagu yang diberi pewarna alami dari kulit gabah (bulir padi) bakar yang dikenal sebagai sekam atau batang padi bakar yang disebut oman. Ini berbeda dengan cendol hijau yang menggunakan pewarna dari daun suji.

Untuk penyajiannya, cendol atau dawet hitam ini dicampur dengan santan kelapa yang telah dimasak bersama daun pandan agar harum. Kemudian, dawet diberi pemanis gula jawa, lalu dibubuhi es batu agar dingin. Hm, menyegarkan sekali, bukan?

Konon, minuman ini mulai dijual pada dekade 1950-an. Pelopornya adalah Mbah Ahmad Dansri. Hingga kini, warung dawet ireng yang dulu dipakai Mbah Ahmad Dansri jualan masih eksis sampai sekarang, lo. Lokasinya terletak di dekat Jembatan Butuh, Desa Butuh, Kecamatan Butuh.

Saat ini, warung tersebut dikelola cucu Mbah Dansri, yakni Wagiman. Selain rasanya yang autentik, warung sederhana tersebut begitu terkenal karena namanya yang unik, yakni dawet hitam "Jembut Kecabut". Nama ini sejatinya merupakan singkatan dari lokasi tempat itu berasal.

Wagiman mengaku sengaja memilih nama yang terkesan "jorok" tersebut untuk menarik perhatian pelanggan. Kebetulan, warungnya berlokasi tepat di sebelah timur jembatan yang menghubungkan Desa Butuh dengan Klepu tersebut.

Dibikin untuk Para Petani

Warung dawet ireng Jembut Kecabut yang dikelola Wagiman. (Ngopibareng/Arif Afandi)

Dikutip dari Detik, 29 Mei 2021, Wagiman mengatakan bahwa dawet ireng ini semula didirikan oleh kakeknya untuk menjadi pelepas dahaga bagi para petani saat musim panen. Dia bercerita, dulu Mbah Dansri berjualan menyasar petani dengan berkeliling dari satu sawah ke sawah lainnya.

Setelah populer, Mbah Dansri kemudian membangun kedai sepelemparan batu dari Jembatan Butuh yang terletak di pinggir sawah. Warung ini kemudian diwariskan ke anaknya, Nawon. Dari Nawon, dawet ireng itu kemudian dikelola Wagiman dan pasangannya, Hartati.

Saat ini, Wagiman mengaku membuat sendiri dawet irengnya. Saban hari, dia bangun sejak dini untuk membuat oman. Serbuk oman kemudian disaring dengan kain dan dimasukkan ke dalam air sehingga jadi pewarna hitam. Air ini lalu dicampur dengan tepung sagu untuk diolah menjadi dawet.

Setiap hari, Wagiman mengaku mampu menjual ratusan gelas es dawet ireng. Pelanggannya nggak hanya masyarakat sekitar, tapi juga orang-orang dari luar kota yang pengin wisata kuliner. Nggak jarang, pejabat hingga selebritas yang kebetulan lewat Jembatan Butuh biasanya bakal mampir ke tempatnya.

Seporsi Dawet Ireng Jembut Kecabut dibaderol sekitar Rp5.000. Agar lebih nikmat, kamu juga bisa menambahkan tapai ketan seharga Rp1.000.

Kalau kebetulan tengah melintasi Jembatan Butuh, silakan mampir dulu untuk menikmati dawet ireng bikinan Wagiman ya. Jangan terpengaruh oleh namanya yang jorok ya, Millens? Ha-ha. (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024