BerandaKulinary
Kamis, 5 Apr 2023 14:17

Kue Legendaris dari Semarang yang Mulai Dilupakan: Roti Ganjel Rel

Roti ganjel rel, kue legendaris khas Kota Semarang bikinan Omah Ganjel Rel. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Nggak banyak yang tahu bahwa kue legendaris dari Semarang ini dulu sangat populer di kalangan bumiputra. Roti Ganjel Rel namanya. Sayangnya, saat ini kue warisan zaman kolonial itu mulai dilupakan masyarakat.

Inibaru.id - Saat mencari oleh-oleh penganan khas Kota Semarang, kamu biasanya bakal diarahkan untuk membeli lunpia atau wingko babat. Sangat jarang yang menyarankan roti ganjel rel. Padahal, keik panjang beraroma jahe itu merupakan kuliner legendaris dari ibu kota Jawa Tengah, lo!

Ganjel rel diyakini sudah dikenal masyarakat Semarang sejak zaman kolonial. Namun, pamor keik yang sekilas mirip bronis itu perlahan memudar dan mulai sulit ditemukan. Selama merantau di Kota ATLAS, saya bahkan baru menjajalnya saat datang ke Omah Ganjel Rel di bilangan Pedurungan, belum lama ini.

Aunil Fadlilah, pemilik Omah Ganjel Rel mengatakan, keik yang biasa disajikan pada tradisi Dugderan menjelang Ramadan di Semarang ini sejatinya terinspirasi oleh Onbitjkoek, roti rempah khas Belanda yang berbahan tepung terigu, telur, gula pasir, rempah, dan kacang almond tersebut.

"Namun, karena saat itu bumiputra merasa bahan-bahan membuat Onbitjkoek terlalu mahal serta sulit didapatkan, secara kreatif mereka menciptakan kue serupa, tapi tanpa telur dan margarin," ungkap Aunil mengawali obrolan kami.

Kreativitas Bumiputra

Pemilik Omah Ganjel Rel Aunil Fadlilah tengah menuang adonan roti ganjel rel ke loyang. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Aunil memproduksi kue ganjel rel di rumahnya yang berada di Jalan Giri Mukti Barat No 3 Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan. Secara mendetail, perempuan paruh baya itu pun bercerita tentang keik yang cukup keras saat digigit tersebut.

"Onbitjkoek sangat disukai orang Belanda. Tapi, masyarakat bumiputra nggak mampu membuatnya karena bahan-bahannya yang terlampau mahal," terang perempuan berjilbab tersebut. "Telur misalnya, mending ditetaskan atau untuk lauk. Terigu juga bukan makanan pokok, jadi terbilang langka."

Namun, dia melanjutkan, keterbatasan itu nggak lantas membuat masyarakat menyerah. Mereka justru menciptakan roti kreasi baru dengan bahan yang jauh lebih ramah di kantong. Telur dan margarin dihilangkan. Terus, tepung diganti dengan gaplek (singkong kering), sedangkan almond jadi wijen.

"Rempah-rempah masih, tapi gula pasir diganti gula jawa. Jadi, ngirit banget untuk bahan-bahannya," terang Aunil.

Seperti Bantalan Rel Kereta

Adonan roti ganjel rel yang telah ditaburi wijen sebelum dimasukkan ke dalam oven. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Karena terbuat dari gaplek, roti ganjel rel menjadi sangat keras. Tekstur yang keras berwarna coklat dan berbentuk persegi panjang membuatnya sekilas mirip bantalan rel kereta zaman dahulu yang terbuat dari balok kayu. Dalam bahasa Jawa, bantalan disebut ganjel.

"Di situlah awal penamaan roti ganjel rel," simpul Aunil. "Makan roti ganjal rel bikin seret, jadi perlu didorong pakai minuman."

Kala itu, roti ganjel rel sangat populer sebagai teman ngopi atau ngeteh. Namun, dia melanjutkan, seiring bertambahnya variasi keik di Semarang, pamor ganjel rel pun memudar. Memasuki awal 1990-an, Aunil mulai merasa kesulitan menemukan keik kenamaan ini.

"Padahal, sebelumnya, roti ganjel rel sering menjadi bagian dari jamuan acara pengajian. Sekarang, kalau mau cari ganjel rel harus datang ke toko kue khas Belanda atau pas Dugderan," tandas perempuan yang saat ini mengaku lebih banyak memasarkan produknya secara daring tersebut.

Sejujurnya, saya terkejut mendengar begitu langkanya roti ganjel rel di pasaran. Sebagai keik legendaris dengan sejarah yang panjang, sangat disayangkan kalau keik ini nggak lagi menjadi identitas Kota Semarang, lo! Ya nggak, Millens? (Fitroh Nurikhsan/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024