Inibaru.id - Tempe menjadi sumber kehidupan bagi keluarga Jumadi. Sudah puluhan tahun dia memproduksi olahan kedelai di rumahnya yang terletak di Jalan Medoho, Kelurahan Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.
Usaha tempe milik lelaki yang akrab disapa Pak Jum tersebut bisa dibilang salah satu usaha tempe legendaris di Kota Atlas. Bagaimana tidak, Pak Jum sudah menjajakan panganan favorit orang Indonesia itu sejak tahun 1960.
"Bisa dibilang warisan keluarga, saya dipercaya meneruskan usaha tempe milik bapak saya dari tahun 1975," ucap Pak Jum pada Inibaru.id belum lama ini.
Sejak remaja, Pak Jum mengaku sudah sering membantu ayahnya. Dari pagi buta, dia sudah bangun untuk pergi memilah kedelai dari tengkulak, hingga proses pembuatan tempe yang memakan waktu sampai dua hari.
Dari zaman Orde Baru hingga Reformasi, Pak Jum sudah kenyang dengan manis pahitnya jadi pengrajin tempe. Untuk tantangan pada zaman sekarang ini, tentu saja soal harga kedelai yang tidak stabil.
"Pasar kedelai dikuasai importir, harga kedelai impor sering naik-turun. Dalam sehari kadang bisa dua kali naik. Ini sering menyusahkan pengrajin kecil seperti saya," keluh Pak Jum.
Harus Telaten
Menurut Pak Jum, kunci menjadi pengrajin tempe agar bisa bertahan puluhan tahun adalah harus pandai mengakali produksi ketika harga kedelai impor sedang naik.
"Tempe kan bikinnya susah, tapi rezekinya manis. Saya bilang apa adanya. Tapi harus sabar dan telaten juga," beber Pak Jum.
Kendati sering dibuat pusing dengan kenaikan harga kedelai impor yang tidak menentu. Pak Jum tidak pernah berhenti memproduksi tempe.
"Tergantung produksinya. Misal saya produksi 100 kilogram, maka saya bisa dapat keuntungan bersih kisaran Rp500-600 ribu," kata Pak Jum.
Lantaran saat ini seorang diri dalam membuat tempe, Pak Jum tidak bisa memproduksi tempe dalam jumlah besar seperti dulu. Pandemi Covid-19 dua tahun lalu turut menjatuhkan usahanya.
"Sebelum Covid-19 saya dibantu empat pegawai. Karena pendapatan terus anjlok, saya dengan terpaksa memberhentikan semua pegawai," kenang Pak Jum.
Mencari Penerus
Pak Jum yang kini berusia 66 tahun ingin segera melimpahkan usahanya pada anaknya. Namun ketiga anak Pak Jum belum ada yang tertarik melanjutkan usahanya tersebut.
"Sebenarnya saya sudah lama pengin istirahat. Hidup saya dan istri sudah cukup. Sekarang pengin momong cucu saja," tuturnya.
Tapi, sama dengan usaha legendaris pada umumnya, mencari generasi penerus agar usaha tetap tegak berdiri bukanlah sesuatu yang mudah. Yang bisa dilakukan Pak Jum hingga saat ini adalah tetap memproduksi tempe setiap hari, memenuhi kebutuhan pasar agar pasokan tempe di Semarang dan sekitarnya nggak berkurang. Semoga usaha tempe legendaris milik Pak Jum tetap bertahan dalam waktu yang lama ya, Millens! (Fitroh Nurikhsan/E10)