Inibaru.id - Semua tahu kalau tempe merupakan salah satu panganan yang digemari masyarakat Indonesia. Dari kalangan bawah, menengah, hingga atas menyukai makanan yang terbuat dari kedelai tersebut.
Olahan tempe nggak hanya tempe goreng atau tempe orek. Seiring perkembangan zaman, banyak kreasi menu kuliner modern seperti burger, grill, dan sandwich berbahan dasar tempe bermunculan. Bahkan di luar negeri, tempe digemari sebagai ikon makanan sehat.
Di balik kepopuleran tempe, ada sebuah nestapa perajin tempe rumahan yang sering kelimpungan dengan lonjakan harga impor kedelai. Mereka dipaksa ektra kreatif ketika harga kedelai impor sedang melambung tinggi.
"Biasanya saya memperkecil ukuran tempe, nggak ada pilihan," ucap seorang perajin tempe legendaris di Kota Semarang, Jumadi, pada Inibaru.id belum lama ini.
Lelaki berambut putih dan wajah yang sudah terlihat keriput itu sangat bergantung kedelai impor. Pasokan kedelai lokal yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar jadi penyebab utamanya.
"Saya melanjutkan usaha orang tua. Dulu rentang tahun 1960 pakai kedelai lokal. Lama-kelamaan semakin sulit mencari kedelai lokal. Dengan terpaksa mulai tahun 1979 beralih menggunakan kedelai impor," kenang lelaki yang akrab disapa Pak Jum tersebut.
"Padahal kualitas kedelai lokal nggak kalah dengan impor. Enak pokoknya. Tapi memang ada satu kekurangan kalau dimasak nggak bisa berkembang," lanjut Pak Jum.
Sempat Berjaya
Jika mengenang masa lalu, Pak Jum seperti ingin kembali. Baginya, era orde baru sebagai masa kejayaan perajin tempe. Harga kedelai murah karena disubsidi sehingga bisa mendatangkan keuntungan besar.
"Dulu bisa beli rumah buat tempat produksi. Bisa menghidupi keluarga dan saya sampai punya empat pegawai untuk membantu proses produksi," kenang Pak Jum.
Kala itu, rumah usaha tempe Pak Jum yang terletak di Jalan Medoho, Kelurahan Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari cukup sering dikunjungi mahasiswa di Kota Lunpia untuk sekedar belajar mengolah kedelai menjadi tempe.
"Sehari saya bisa produksi 130 kilogram kedelai jadi tempe," ungkap Pak Jum.
Saat orde baru berakhir dan subsidi dicabut, perajin tempe termasuk Pak Jum sering kelimpungan dengan harga kedelai impor yang sering naik-turun. Tinggi rendahnya harga kedelai tersebut imbas dari dollar di Indonesia yang tidak terkendali.
"Zaman Presiden SBY pernah harga kedelai naik sebesar Rp10 ribu per kilo. Kami para perajin tempe banyak yang demo. Akhirnya kami diberi subsidi lagi dan harga kedelai turun Rp6.500," lanjut Pak Jum.
Mencoba Bertahan
Mata Pak Jum mulai berkaca-kaca kala menceritakan kondisi usahanya semakin runyam di masa pandemi Covid-19 dua tahun lalu. Harga kedelai impor sempat menggila hingga tembus Rp14.000 perkilo.
Harga kedelai impor yang tidak terkendali itu membuat Pak Jum dengan terpaksa memberhentikan semua pegawainya. Kini Pak Jum seorang diri mempertahankan usaha warisan dari orang tuanya.
"Dari mencuci kedelai, penggodokan, membersihkan dari kulit ari, merendam, sampai fermentasinya baru jadi tempe. Saya lakukan semuanya sendiri," ujar Pak Jum.
Diakui Pak Jum produksi tempenya sudah menurun dratis. Kendati begitu, lelaki berusia 66 tahun itu berharap pemerintah ikut campur dalam menentukan dan menstabilkan harga kedelai impor.
"Dalam sehari harga kedelai impor kadang bisa naik sampai dua kali, ini sering kali menyusahkan pengrajin kecil," tandas Pak Jum.
Sebuah kondisi yang cukup ironi, ya. Tempe yang kita kenal selama ini adalah makanan yang murah meriah, mudah dijumpai di banyak tempat, dan banyak yang suka. Rupanya untuk memproduksi tempe nggak semudah saat kita melahapnya. (Fitroh Nurikhsan/E10)