Inibaru.id - Bagi Amin Hambali, Sahabat Mata bukan semata komunitas atau rumah untuk berteduh, tapi juga tempat untuk terus berkembang dan bertumbuh. Masih lekat dalam ingatannya gimana komunitas untuk para penyandang tunanetra Kota Semarang ini "menyelamatkan" hidupnya.
Sebelum tinggal di Rumah Sahabat, "markas" Komunitas Sahabat Mata, pada 2018, hidup Amin memang nggak menentu. Dia terus berpindah-pindah tempat tinggal untuk bekerja sejak lulus SMA pada 2012. Dia baru menetap di Semarang setelah bergabung dengan Sahabat Mata.
Bahkan, lelaki penyandang tunanetra tersebut mengaku, kesempatan mengenyam bangku kuliah yang dijalaninya sekarang ini nggak lepas dari dorongan sang pendiri Sahabat Mata, yakni Basuki. Bahkan, seluruh biaya kuliah Amin dibiayai komunitas yang berpusat di Kecamatan Mijen, Kota Semarang itu.
"Wah, gila! Senang sekali, mimpi saya dari dulu untuk kuliah akhirnya terwujud!" terang Amin di Rumah Sahabat, belum lama ini. "Penginnya ambil Psikologi, tapi di UIN Walisongo Semarang akses untuk penyandang disabilitas baru jurusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) saja."
Amin mengaku bercita-cita menjadi penulis. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, dia juga bergabung dengan koran kampus di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (Fakdakom), yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Missi. Dia juga rajin mencurahkan kegundahannya melalui tulisan cerita pendek.
"Komunitas Sahabat Mata sangat membebaskan saya untuk mengembangkan bakat dan minat, termasuk keinginan untuk menulis," ujar pemuda kelahiran Kabupaten Semarang ini.
Keseriusan Amin menjadi penulis bukanlah kaleng-kaleng. Dia mengaku pernah menjuarai sebuah lomba menulis melalui karya cerita pendek yang dibuatnya pada 2022. Pemuda bersahaja ini meraih Juara I untuk kategori cerpen "Paling Menyentuh".
"Saya tulis cerpen yang mengisahkan tentang masyarakat yang belum open minded terhadap penyandang disabilitas," kata dia.
Dorongan untuk Berdaya
Nggak hanya Amin, menurut pendiri Komunitas Sahabat Mata Basuki, tiap anggota komunitas ini memiliki kesempatan yang sama untuk terus berkembang dan berdaya, termasuk melanjutkan pendidikan.
Dia mengatakan, saat ini ada empat anggota yang dikuliahkan. Mereka kuliah Universitas Dian Nuswantoro dan UIN Walisongo Semarang. Untuk biayanya, ada yang sepenuhnya ditanggung Sahabat Mata, ada yang sebagian masih disokong orang tua mereka.
"Kami ingin membuka ruang baru. Kalau bukan dari kita, siapa lagi?" ujar Basuki.
Saat mendirikan Komunitas Sahabat Mata pada 1 Mei 2008, tujuan lelaki paruh baya ini memang untuk mendorong para penyandang tunanetra agar lebih berdaya dan berkeinginan untuk mengejar impian mereka.
"Untuk mewujudkan cita-cita ini, kami sediakan berbagai fasilitas penunjang seperti tempat siaran radio, perangkat komputer, dan alat cetak Al-Quran braille," terangnya. "Saya ingin kami semua punya kemampuan untuk hidup mandiri."
Menyambung perkataan Basuki, salah seorang anggota Komunitas Sahabat Mata Sopyan mengaku senang bisa menjadi bagian dari komunitas tersebut. Berkat Sahabat Mata, dia mengatakan semakin mahir membaca Al-Quran braille, bahkan kini dipercaya untuk mengajari kawan-kawannya.
"Saya mengajar ngaji sekitar satu jam sehari. Tapi, sebelum menggunakan Al-Quran braille, mereka harus mengenal lebih dahulu simbol huruf hijaiyah dari modul yang telah disusun," tandas Sopyan.
Untuk bertahan, seseorang memang nggak bisa hidup sendirian. Butuh penopang, pendukung, dan penyemangat, terlebih untuk mereka yang acap dipandang sebelah mata karena dianggap nggak sempurna. Semangat terus, Sahabat Mata! (Fitroh Nurikhsan/E03)