Inibaru.id - "Ingin kawan-kawan tunanetra ini berdaya dalam satu wadah; supaya mereka bisa hidup mandiri di tengah keterbatasan," lontar Basuki saat menyambut kedatangan saya di kediamannya, beberapa waktu silam. Sontak hati saya bergetar mendengarnya.
Basuki adalah pendiri Komunitas Sahabat Mata. Hari itu saya sengaja menyambangi rumahnya untuk mendengarkan secara langsung kisah perjuangannya menginisiasi wadah para tunanetra di Kota Semarang ini. Saya senang dengan keramahan Basuki yang langsung menyambut saya dengan hangat.
Oya, Sahabat Mata merupakan salah satu komunitas tunanetra paling aktif di Semarang. Bermarkas di bilangan Perum Bukit Sari BSB, Kecamatan Mijen, komunitas yang berdiri sejak 1 Mei 2008 tersebut saat ini dikenal dengan kampanye "mencegah kebutaan" yang mereka suarakan di sekolah-sekolah.
Saat bertemu dengan saya, Basuki yang hari itu mengaku kurang fit langsung semringah menceritakan pengalamannya mendirikan Sahabat Mata. "Ihwal perjuangan ini," tutur Basuki, "adalah saat saya berkeliling Jawa Tengah dan melihat masih banyak penyandang tunanetra belum berdaya."
Kejadian itu berlangsung pada 2006 ketika dirinya terlibat di dalam kegiatan sebuah komunitas yang mengharuskannya melakukan observasi kondisi dan kehidupan para penyandang disabilitas di Jateng. Output dari observasi itu, lanjutnya, adalah dengan menggelar pentas teater gabungan.
"Kami bikin pentas teater untuk membuat mereka lebih percaya diri, mandiri, dan berdaya di tengah keterbatasan; sekaligus menggalang dana," kenang Basuki.
Wadah untuk Kawan-Kawan
Seusai pentas, Basuki pun mulai kepikiran untuk mendirikan sebuah wadah untuk kawan-kawannya, sesama penyandang tunanetra. Maka, berdirilah Sahabat Mata pada 2008. Dua tahun berselang, dia dan kawan-kawannya mampu menyewa rumah yang mereka tempati sampai sekarang, yang diberi nama Rumah Sahabat.
"Misi utama kami sekarang adalah mencegah kebutaan. Saya bukan tunanetra dari lahir. Maka, kami sosialisasikan ke sekolah gimana mencegah kebutaan. Para siswa yang butuh kaca mata juga kami kasih gratis," tutur Basuki.
Selama tinggal bersama, Basuki dan kawan-kawannya mulai belajar gimana cara siaran radio, membaca Al-Quran Braille, dan mengoperasikan komputer. Mereka juga rutin mengadakan pengajian di Rumah Sahabat setiap malam Kamis.
"Siaran radio di Sahabat Mata dari pagi hingga malam. Siaran ini adalah media agar mereka lebih lihai berkomunikasi," ujar lelaki murah senyum tersebut. "Kalau ada yang jadi penyiar, ya, itu bonus."
Agar lebih terbuka dan percaya diri, Basuki juga mengajak kawan-kawannya menggelar pengajian keliling secara rutin di masjid-masjid di Kota Semarang tiap awal bulan. Selain untuk menunjukkan bahwa mereka bisa berdaya, mereka juga bisa melihat sendiri fasilitas masjid di Kota Lunpia.
"Kami mau menunjukkan ke masyarakat bahwa belum semua masjid ramah terhadap penyandang disabilitas; mulai dari pengguna kursi roda yang nggak bisa masuk, kawan tuli yang pas Salat Jumat bengong saja, hingga kami yang terganggu karena suara speaker masjid yang terlalu keras," paparnya.
Basuki menyadari, hidup sebagai tunanetra nggak bakal begitu saja diterima masyarakat. Namun, dia dan kawan-kawan memilih berdamai dengan diri mereka dan terus membuka diri dan berusaha berinteraksi dengan siapa saja.
"Masyarakat ada yang cuek, usil, tapi banyak yang baik dan mau menerima. Infrastruktur di Semarang dari tahun ke tahun juga semakin ramah terhadap penyandang disabilitas, meski belum sepenuhnya merata," tandasnya.
Suka banget dengan semangat Pak Basuki! Selama terus melangkah, batasan memang nggak bakal ada; karena keterbatasan hanyalah label yang kita atau orang-orang bikin, yang tentu saja telah berhasil didobrak kawan-kawan di Komunitas Sahabat Mata. (Fitroh Nurikhsan/E03)