BerandaInspirasi Indonesia
Kamis, 6 Okt 2021 17:28

Bertahun-tahun Berguru ke Tiongkok, Jadi Terapis Akupunktur di Semarang

Salah seorang pasien yang melakukan pengobatan akupunktur pada bagian bahu. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Untuk menjadi terapis akupunktur, seni pencegahan dan pengobatan tradisional Tionghoa menggunakan media jarum tusuk, Wahyu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk berguru langsung ke Tiongkok, tempat awal berkembangnya ilmu tersebut.

Inibaru.di – Pengobatan tradisional Tionghoa masih dianggap sebagai media penyembuh alternatif di Indonesia. Namun, di negeri asalnya yakni Tiongkok, teknik pengobatan yang ditemukan sejak ribuan tahun itu merupakan bagian nggak terpisahkan dari masyarakat setempat.

Maka, untuk mempelajari pengobatan tradisional yang terdiri atas akupunktur, racikan herbal, dan pijat tui na itu , banyak orang berguru langsung ke Negeri Tirai Bambu, nggak terkecuali Wahyu Stephanie. Gadis asal Kudus, Jawa Tengah, itu baru saja membuka praktik akupunktur di Semarang, sekitar dua jam perjalanan dari rumahnya, saat saya bertemu dengan dia belum lama ini.

Mendaku diri sebagai terapis akupunktur bukanlah hal baru bagi Wahyu. Sebelum hijrah ke Semarang, dia sudah lebih dulu membuka praktik di Kediri, Jawa Timur, pasca-meraih gelar sarjana di Tiongkok. Namun, dia memilih meninggalkannya dan memulai karier dari nol lagi di Kota Lunpia.

“Sedari dulu saya pengin sekali berkarier di Semarang. Ini kota besar dan lumayan dekat dari rumah,” ungkap Wahyu, mengawali cerita setelah dia menyelesaikan terapi dengan seorang pasien.

Saya melihat pekerjaan Wahyu sangat mudah. Dia tinggal duduk, menerima pasien, menerima keluhan, menusuk-nusuk jarum, kemudian menerima bayaran. Namun, tentu saja ini hanyalah puncak dari gunung es yang sangat besar dari perjuangan panjangnya hingga mencapai dirinya yang sekarang.

Menempuh Perjalanan Panjang 

Wahyu Stephanie, terapis akupunktur yang sekarang membuka praktik di Kota Semarang. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Wahyu berkisah, perempuan berkacamata itu harus bersusah payah kuliah di Tiongkok pada 2009. Setahun sebelum menempuh pendidikan S1 jurusan Traditional Chinese Medicine di Yunnan University of Traditional Chinese Medicine, dia sudah berangkat ke Tiongkok untuk pelatihan bahasa Mandarin.

Pendidikan pengobatan tradisional Tionghoa dijalaninya selama empat tahun hingga 2014. Setelahnya, dia praktik magang di Kunming City Traditional Chinese Medicine Hospital selama satu tahun. Dari segi pengalaman, tentu saja kemampuan Wahyu nggak perlu dipertanyakan lagi.

“Saya di Yunnan (provinsi di bagian barat daya Tiongkok) enam tahun; setahun pelatihan bahasa, empat tahun kuliah, setahun koas (magang)," tutur perempuan yang fasih berbahasa Mandarin tersebut.

Keinginan mengambil jurusan pengobatan tradisional ini sejatinya bukan murni keinginan Wahyu, tapi ada pula andil dari keluarganya. Dia berkisah, orang tuanya tertarik dengan pengobatan tradisional Tionghoa metode akupunktur, lalu memberi saran dirinya untuk mengambil jurusan tersebut.

"Ada sebuah pengalaman, saudara kena satu penyakit kronis, lalu dibawa ke Jakarta untuk diberi pengobatan itu (akupunktur), ternyata membaik. Dari situ orang tua memberi saran (untuk belajar akupunktur),” jelas Wahyu.

Akupuntur adalah teknik pengobatan tradisional Tionghoa melalui terapi tusuk jarum yang berfungsi sebagai sarana pencegahan dan penyembuhan penyakit. Selama menjalani masa kuliah, dia benar-benar dicekoki bidang tersebut dari A-Z. Dia paham betul gimana menghubungkan penyakit dengan titik tubuh.

“Kami kuliah seperti dokter yang belajar anatomi tubuh. Seluruh titik tubuh harus kami pelajari dan hafalkan," ujar Wahyu. Matanya kemudian menerawang ke langit-langit seolah mengingat-ingat. "Ada 12 jalur meredian utama dan 12 jalur khusus sebagai dasar untuk menusukkan jarum.”

Tarif yang Bersahabat 

Wahyu sedang membuka konsultasi awal dengan pasien-pasiennya. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Praktik akupunktur yang dilakukan Wahyu biasanya dimulai dengan sesi konsultasi. Ini dilakuknnya agar perempuan yang baru saja merampungkan kuliah S2-nya pada 2020 tersebut bisa segera mendeteksi keluhan awal pasien.

Oya, sebagai informasi tambahan, pada 2017 Wahyu mendapat beasiswa S2 dari pemerintah Tiongkok. Dia mengambil jurusan Clinical Discipline of Chinese and Western Integrative Medicine spesialisasi Penyakit Dalam tentang ginjal di Tianjin University of Traditional Chinese Medicine.

Pada sesi konsultasi, Wahyu menggunakan empat metode deteksi, yakni dengan melihat, membaui, meraba, dan mewawancarai pasien. Setelah itu, barulah dia menentukan tindakan apa yang harus dilakukannya.

Selama membuka praktik, Wahyu membuka jasa dengan harga mulai Rp 100-200 ribu. Menurut saya, tarif ini terbilang sangat murah apabila melihat latar pendidikan dan kemampuannya mengobati pasien.

"Untuk terapi biasanya pasien datang langsung ke tempat saya praktik. Namun, kadang juga saya yang datang ke rumah mereka," terang gadis berhijab yang bisa kamu kepoin lebih lanjut via Instagram @stephanie.akupuntur_herbal tersebut sembari merapikan peralatan akupunkturnya.

Beberapa momen unik sempat dirasakan Wahyu saat mengobati pasiennya. Dia mengaku pernah menerapi seorang perempuan berusia mendekati 40 tahun yang mengalami obesitas. Kala itu, pasien tersebut mengeluh karena belum dikaruniai momongan.

"Alhamdulillah, setelah saya terapi beberapa kali, beliau dapat mempunyai momongan,” cerita Wahyu. Kendati sebagian mukanya tertutup masker, kentara sekali mimik mukanya semringah.

Bagi dia, nggak ada yang lebih membahagiakan selain melihat pasiennya mempunyai kualitas hidup yang jauh lebih baik pascaterapi. Wahyu nggak menampik bahwa saran keluarganya kini berbuah manis. Selama menjalani profesi sebagai terapis, dia mengaku mengalami lebih banyak hal yang disukainya.

"Selalu ada kepuasan tersendiri melihat orang-orang dapat sembuh atau minimal lebih baik dari sebelumnya," pungkasnya, lalu tergelak.

Mendengar ceritanya, saya pun ikut tergelak. Menarik sekali! Masih sangat muda, tapi Wahyu punya visi yang betul-betul menginspirasi kan, Millens? Sehat-sehat ya, Mbak Wahyu! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024