Inibaru.id – Salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam masa kolonialisme di Indonesia adalah Thomas Stamford Raffles. Berkali-kali lelaki berkebangsaan Inggris itu menunjukkan kecintaannya pada Pulau Jawa. Sebagai wujudnya, dia bahkan menuliskannya dalam buku History of Java pada 1817.
Dalam buku ini, Raffles menyebut orang Jawa sebagai orang-orang yang menakjubkan. Asalkan nggak diganggu atau ditindas, orang Jawa sangatlah ramah, lembut, penuh perhatian, dan dermawan. Meski menderita karena penjajahan Belanda, dia menyebut karakter sejati orang Jawa nggak selalu lemah.
Selama menjadi Gubernur Hindia Belanda, Raffles memang memberikan banyak sekali pengaruh bagi sejarah Nusantara. Kendati hanya menjabat selama lima tahun (1811-1816), karya-karyanya lekang, salah satunya Kebun Raya Bogor yang dibangun bersama Profesor Reindwart dari Belanda.
Namanya juga diabadikan sebagai nama bunga terbesar di dunia yang kali pertama ditemukan di Bengkulu pada 1818, Rafflesia Arnoldii. Selain itu, atas pengaruh Raffles pula, Candi Borobudur akhirnya dipugar dan kini bisa berdiri menjadi salah satu bangunan termegah di dunia.
Menyibak Bukit Berisi Candi
Syahdan, sebuah laporan mampir ke Thomas Stamford Raffles pada 1814, mengisahkan tentang bukit berisikan reruntuhan candi yang dipenuhi belukar, ilalang, dan pepohonan di Magelang. Dia pun segera meminta seorang Belanda bernama Cornelius untuk membersihkan situs tersebut.
Bersama warga setempat, Cornelius kemudian justru mendapati sebentuk candi raksasa terkubur di dalam bukit. Sayang, sebelum urusannya dengan Boro Bodo (begitu Raffles menyebut Borobudur) selesai, lelaki kelahiran Jamaika, 6 Juli 1781, ini harus meninggalkan Jawa.
Ada yang mengatakan Raffles di hingga 1816. Namun, sejarah mencatat dia kembali ke Inggris nggak lama setelah Jawa dikembalikan ke Belanda pada 1815 atau pasca-Perang Napoleon.
Sosok yang mengenalkan sistem keresidenan dengan membagi Jawa menjadi 18 keresidenan tersebut sejatinya kurang suka dengan kehadiran Belanda di Jawa. Dia enggan pindah karena kadung mencintai pulau ini. Bahkan, sang istri, Olivia Mariamne, dimakamkan di Batavia (Jakarta).
Raffles terlajur mencintai alam, kultur, tradisi, dan warganya yang dia anggap berbudaya. Wujud kecintaan itu dituangkannya dalam History of Java, buku dua jilid yang dibuat di London pada 1817, ditulis berdasarkan riset bersama dua asistennya, John Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Merintis Singapura Modern
Pada 1818, Raffles kembali ke Nusantara dan ditugaskan di Bengkulu. Dia menjadi Gubernur Bencoolen (Bengkulu). Di situlah Raffles menemukan Rafflesia Arnoldi. Kemudian, pada 29 Januari 1819 dia mendirikan pos perdagangan bebas di sebuah pulau di ujung selatan Semenanjung Malaka.
Raffles melakukan kerja sama dengan penguasa setempat, yakni Tumenggung Sri Maharaja. Orang-orang Inggris diperbolehkan mendirikan koloni di pulau kecil tersebut dengan syarat melindungi pedagang lokal dari para pedagang Belanda serta Bugis.
Langkah ini terbilang berani karena saat itu wilayah tersebut berada di bawah pengaruh Belanda. Lokasi yang sangat strategis ini pun membuatnya cepat menjadi pusat perdagangan yang sangat ramai. Nggak lama berselang, beberapa ratus pedagang bermunculan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan bebas pajak di pos tersebut.
Raffles menetapkan 6 Februari 1819 sebagai Hari Jadi Singapura. Pada 1823, dia kembali ke Inggris untuk selamanya. Saat itu, Singapura telah menjelma menjadi pusat perdagangan dengan pajak rendah serta pelabuhan terbesar di dunia.
Sosok yang patah hati karena nggak mampu mengelola Jawa itu akhirnya mewujudkan mimpinya di Singapura. Dia menjadikan Tumasik, sebutan untuk Singapura pada zaman dulu, sebagai tempat yang maju.
Ah, nggak usah berandai-andai akan seperti apa Pulau Jawa kalau nggak dikuasai Belanda. Yang pasti, jika Singapura bisa sebesar itu, seharusnya Indonesia juga setali tiga uang, bahkan melebihi itu. Yeah, tentu saja itu tergantung kita semua. Sepakat, Millens? (Oke/IB09/E03)