BerandaHits
Kamis, 30 Okt 2024 18:29

Dianggap Kurang Iman, Stigma Kesehatan Jiwa Masih Menjadi Tantangan

Gangguan mental bukan karena kurang keimanan. (Shutterstock)

Anggapan bahwa gangguan mental seperti depresi dan kecemasan disebabkan oleh kurangnya keimanan, atau bahwa pekerja yang mencari layanan kesehatan jiwa dianggap nggak mampu lagi bekerja, menunjukkan betapa kuatnya stigma ini. Menanggapi hal tersebut, WHO menyarankan tiga langkah efektif untuk memerangi stigma, yaitu melalui edukasi, interaksi, dan aksi langsung.

Inibaru.id – Hingga sekarang stigma terhadap masalah kesehatan jiwa masih sulit dihapuskan, dan sering kali, masalah seperti depresi, kecemasan, dan stres dikaitkan dengan rendahnya tingkat keimanan seseorang. Bahkan, ada anggapan bahwa pekerja yang mencari layanan kesehatan jiwa dianggap "nggak mampu lagi bekerja."

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang mengalami gangguan jiwa dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka. Kondisi ini juga menghambat pemulihan serta membuat orang enggan mencari bantuan atau perawatan.

Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, dr. Imran Pambudi, MPHM, menyampaikan tiga langkah untuk memutus rantai stigma ini.

“WHO menganjurkan beberapa langkah untuk melawan stigma dan diskriminasi. Langkah ini tertuang dalam ‘World Mental Health Report: Transforming mental health for all’, yang diterbitkan WHO pada 2022,” ujar Imran di Jakarta, ditulis Selasa (29/10).

Langkah pertama adalah strategi edukasi, yaitu membangun literasi tentang kesehatan jiwa melalui kampanye dan pelatihan masyarakat. Langkah kedua, strategi kontak, yaitu mengubah sikap masyarakat melalui interaksi langsung atau online dengan orang-orang yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Terakhir, strategi aksi, yaitu bentuk penolakan formal seperti petisi atau demo untuk melawan stigma secara terbuka.

Gara-gara stigma ini, seseorang enggan memeriksakan diri sehingga banyak yang terlanjur parah. (Alodokter)

“Berikutnya, langkah ketiga berupa strategi aksi (protest strategies), yaitu penolakan terhadap stigma dan diskriminasi secara formal. Contohnya, demo, petisi, boikot, dan kampanye advokasi lainnya,” lanjut Imran.

Penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial adalah cara paling efektif untuk meningkatkan pemahaman dan sikap positif terkait stigma kesehatan jiwa. Beberapa negara berpenghasilan tinggi telah menjalankan kampanye berskala besar berbasis kontak yang berhasil menciptakan perubahan sikap.

Kampanye Anti-Stigma di Berbagai Negara

Di beberapa negara, terdapat kampanye nasional yang berhasil meningkatkan kesadaran publik tentang kesehatan jiwa. Di Inggris, kampanye Time to Change bertujuan menghapus stigma terhadap masalah kesehatan jiwa melalui acara komunitas dan penghargaan yang melibatkan penyintas. Sementara di Australia, Beyond Blue mendukung literasi kesehatan jiwa melalui pelatihan dan forum komunitas yang berhasil meningkatkan pemahaman tentang depresi dan kecemasan.

“Kegiatan yang dilakukan, misalnya, acara-acara komunitas lokal dan penghargaan yang dibuat oleh penyintas. Hasilnya, kegiatan yang berbasis kontak dengan masyarakat awam, efektif menurunkan stigma serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan jiwa,” kata Imran.

Di Kanada, Opening Minds yang digagas oleh Mental Health Commission of Canada (MHCC) menargetkan edukasi berbasis kontak untuk berbagai kelompok, termasuk penyedia layanan kesehatan dan karyawan. Kampanye ini berhasil mengurangi stigma dengan berbagi cerita inspiratif tentang harapan dan kesembuhan.

“Kampanye ini memberikan dukungan terkait kesehatan jiwa. Intervensi ditujukan kepada penyedia layanan kesehatan, karyawan, dan anak-anak muda,” terang Imran.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pendidikan, interaksi, dan aksi adalah kunci untuk mengatasi stigma kesehatan jiwa dan meningkatkan penerimaan masyarakat.

Biar stigma ini makin memudar, yuk mulai dari diri kita. Jangan lagi men-judge mereka adalah orang yang kurang iman ya, Millens! (Siti Zumrokhatun/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT