BerandaHits
Minggu, 19 Jul 2025 17:16

Benarkah Manusia Secara Alami Cenderung Korup? Neurosains Punya Jawabannya

Benarkah ada orang yang memang terlahir dengan bakat korupsi? (Shutterstock)

Apakah manusia memang ditakdirkan untuk korup? Neurosains membuktikan, godaan korupsi bukan berasal dari “bakat jahat”, melainkan hasil benturan antara sistem penghargaan dalam otak dan tekanan sosial yang membentuknya.

Inibaru.id – Di tengah derasnya arus pemberitaan soal skandal demi skandal, satu pertanyaan klasik kembali mengemuka; Apakah manusia memang secara alami cenderung korup?

Pertanyaan ini cukup mengusik lantaran beberapa hari yang lalu, Iwan, seorang kenalan saya mengaku dimintai sejumlah uang oleh petugas kepolisian agar mereka mau "bergerak" sesuai SOP.

"Lucu! Kan harusnya itu tugas mereka? Kok saya juga yang harus bayar!" Ungkapnya kesal melalui layanan pesan instan, Kamis (17/7/225).

Dia kemudian bercerita bahwa uang perusahaannya ditilap pegawai selama bertahun-tahun. Ketika mediasi buntu, dia memilih jalur pidana. Keinginannya jelas. Dia pengin mantan karyawannya yang telah korupsi itu kapok dan mengembalikan duit perusahaan. Nyatanya, untuk menempuh jalur hukum begitu sulit meski bukti-bukti kuat. Polisi baru mau kerja jika diberi pelicin. Para jaksa yang berjanji bakal membantu juga nyatanya nggak jauh beda.

"Uang minta duluan, tapi kerja nol besar," katanya.

Kasus seperti ini mungkin sudah sering kita dengar. Korupsi kerap dianggap sebagai “penyakit sosial” yang menular. Tapi apakah benar, jauh sebelum seseorang mencicipi kekuasaan, otaknya memang sudah membawa benih perilaku koruptif? Neurosains menjawabnya nggak sesederhana itu.

Berdasarkan kajian ilmu saraf terkini, korupsi ternyata bukan takdir. Ia bukan “cacat bawaan” dalam otak manusia. Namun, otak memang menyimpan potensi untuk condong pada perilaku tidak etis, apalagi ketika lingkungan mendukung dan iming-iming keuntungan pribadi terlalu menggiurkan.

Pertarungan Dalam Otak: Antara Imbalan dan Kendali Diri

Seseorang harus bisa mengendalikan diri agar rem moral nggak rusak. (via Suara Muda)

Saat seseorang dihadapkan pada godaan korupsi, otak sebenarnya memicu pertarungan diam-diam. Di satu sisi, ada sirkuit penghargaan yang melepaskan zat kimia menyenangkan setiap kali berhasil “menang” dalam transaksi gelap. Di sisi lain, ada sistem pengendalian diri dan penilaian moral yang berusaha menarik rem.

Namun, setiap keberhasilan korupsi memperkuat jalur saraf yang memicu rasa puas. Semakin sering dilakukan, semakin kuat jalur itu terbentuk. Pada titik tertentu, rem moral bisa rusak, dan otak jadi terbiasa mengambil jalan pintas.

Sayangnya, sirkuit yang semestinya bertugas menahan dorongan sesaat dan mengarahkan kita pada rencana jangka panjang seperti menjaga reputasi atau merawat karier malah terhambat. Otak jadi sibuk mengejar kepuasan instan, tanpa peduli akibatnya.

Budaya dan Tekanan Sosial Menyulut Korupsi

Otak manusia juga sangat responsif terhadap lingkungan sosial. Jika hidup di tengah budaya yang permisif terhadap korupsi, maka perilaku itu akan tampak wajar. Ini bukan omong kosong. Eksperimen klasik dari Solomon Asch menunjukkan bahwa orang cenderung mengikuti kelompok, bahkan ketika tahu kelompok itu salah.

Bayangkan jika budaya menyuap, menilep, atau "bagi-bagi jatah" dianggap lumrah di lingkungan kerja. Otak akan menyesuaikan diri, dan mekanisme alarm moral bisa rusak permanen.

Lambat laun, sensitivitas terhadap perilaku korup akan melemah. Hati nurani jadi bisu. Yang muncul justru rasionalisasi: “Semua orang juga begitu”, “Gue cuma ikut arus”, atau “Kalau nggak gitu, bisa nggak makan”.

Kekuasaan Bisa Mematikan Empati

Lebih jauh, penelitian neurosains juga mengungkap, makin lama seseorang berada di lingkar kekuasaan, makin lemah jaringan pengendali dirinya. Otak jadi lebih fokus pada tujuan pribadi dan makin sulit memproses dampak etis atau sosial dari perbuatannya.

Kurangnya empati ini jadi akar persoalan. Karena tanpa empati, kita tak bisa merasakan derita orang lain akibat keputusan kita. Ini sebabnya, banyak pejabat korup tampak nggak merasa bersalah.

Harapan Masih Ada: Norma Etika dan Kontrol Sosial

Kabar baiknya, korupsi bisa dicegah. Caranya? Bangun konteks sosial yang sehat. Lingkungan kerja atau komunitas yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan etika bisa memperkuat jaringan pengendali diri dalam otak.

Memberi sanksi sosial yang efektif juga penting. Bukan semata mengandalkan hukum, tapi membangun budaya malu dan rasa tanggung jawab yang nyata.

Sebab, sebagaimana otak bisa “diprogram” untuk jadi korup, ia juga bisa dilatih untuk menolak godaan.

Jadi, bukan soal manusia dilahirkan korup atau nggak. Tapi apakah lingkungan tempat ia tumbuh dan bekerja mendukung etika, atau justru menormalisasi kebusukan?

Kalau kamu, bagaimana cara melatih otak agar tetap waras dan jujur, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: