Inibaru.id – Banjir Kanal Barat (BKB) selalu punya hal menarik di mata saya. Begitu banyak cerita di Kota Semarang yang bermula dari sungai yang menyisir Kota Lunpia dari sisi barat ini. Dari yang muram hingga menyenangkan; dari penemuan mayat hingga kini dikenal dengan wahana berselancarnya!
Yap, kamu nggak salah baca! Jika Jakarta punya pusat tongkrongan anak muda yang viral di medsos bernama Citayam Fashion Week, hari-hari ini Semarang juga memiliki cerita serupa, yakni Surfing di Banjir Kanal. Hampir tiap sore, ratusan anak muda akan berada di sini untuk berselancar.
Baca Juga:
Gebyok Ukir Jepara di Mata Amim MustafiSaya sebetulnya agak geli mengatakan “berselancar”, karena sejatinya mereka hanyalah meluncur dari sisi atas sebuah mercu yang ada di Banjir Kanal Barat. Bentuknya yang miring dialiri air membuat orang bisa berseluncur dari ujung atas hingga dasar mercu laiknya bermain perosotan.
Masyarakat Semarang sebetulnya sudah mengenal perosotan di mercu bendung itu sejak lama, tapi baru viral di medsos hari-hari ini. Begitu viral, orang-orang yang penasaran pun mulai menyambangi tempat yang dikenal sebagai Bendungan Pleret tersebut, bahkan turut menjajalnya.
Nyore di Sungai
Aktivitas berselancar di Banjir Kanal Barat biasanya dimulai selepas Asar, sekira pukul 15.00 WIB. Orang-orang yang cuma pengin nonton atau nyore di sungai biasanya bakal memilih duduk-duduk di pinggir kali, sementara yang pengin berselancar akan segera turun ke bendungan.
Sore itu, saya bertemu Wisnu yang sengaja datang jauh-jauh dari Klipang, menempuh perjalanan belasan kilometer, untuk berselancar di BKB. Begitu tiba, dia segera menanggalkan kaus, lalu meletakkannya bersama tas di celah tuas pintu air karena di situ nggak ada loker.
“Ini sudah yang kedua (berselancar di BKB). Lihat di Instagram, kok sepertinya seru dan keren!” seru lelaki 16 tahun ini sembari bergegas menuruni tangga, menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu tiba di sisi atas perosotan.
Dari kejauhan, saya melihat Wisnu dan teman-temannya telah bergabung dengan para peselancar lain yang siap meluncur. Mereka tampak antusias, meski mimik muka mereka acap bias antara cemas dengan keinginan untuk tertawa lepas.
Dari Zaman Belanda
Sejarawan Semarang Rukardi Achmadi lewat bukunya Remah-Remah Kisah Semarang menuliskan, bermain perosotan di Bendungan Pleret diyakini telah dilakukan sejak zaman Kolonialisme Belanda. BKB yang saat itu bernama Western Bandjirkanaal dibangun untuk irigasi sekaligus pengendali banjir.
Kala itu, ada penjaga pintu air berkulit hitam bernama Zimmerman yang membuat klub pehobi perosotan di sana. Dia begitu dikenal orang hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan inspeksi di sisi timur BKB, yakni Zimmermanns-laan.
Pascakemerdekaan RI, Simmermanns-laan diubah menjadi Jalan Basudewa. Rukardi mengatakan, kanal yang membentang dari Desa Lemahgempal hingga ke Laut Jawa itu tetap dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari, sekaligus menjadi tempat pelesiran.
"Banyak orang datang ke tempat itu untuk memancing, menikmati pemandangan, atau bermain perosotan," tulisnya.
Bahaya yang Mengintai
Membaca cerita Rukardi tentang BKB membuat saya membayangkan, apakah situasinya seramai ini? Apakah mereka menuruni perosotan yang licin oleh lumut itu sambil berdiri juga? Adakah orang-orang seperti Wisnu yang datang dari desa tetangga yang jaraknya jauh pula?
Pikiran saya masih melayang jauh ketika tiba-tiba Wisnu sudah berdiri di samping saya sembari memandangi temannya yang nyengir kesakitan lantaran tangannya terkilir. Menurut Wisnu, tubuh terkilir atau terluka saat meluncur memang menjadi hal lazim saat mereka berselancar di sana.
Namun begitu, saya nggak melihat satu pun orang yang tampak kapok. Berkali-kali terjungkal, tetap saja mereka mencoba meluncur lagi dan lagi. Mereka bahkan nggak menyadari betapa bahayanya meluncur di bendungan tersebut, sebagaimana diungkapkan Bayu, penjaga pintu air Bendungan Pleret.
“Bermain di bendungan ini sebetulnya cukup berisiko, terlebih kalau wilayah atas (Kabupaten Semarang) hujan. Air bah bisa datang kapan saja. Meski ada penanda seperti warna air menjadi keruh, ngggak semua orang menyadarinya,” kata Bayu di Bendungan Pleret, Senin, 15 Juli 2024.
Bukan Zona Umum
Tren berselancar di Banjir Kanal diakui Bayu cukup membuatnya repot karena perosotan itu sejatinya bukanlah Zona Umum. Pintu air dan bendungan adalah Zona Khusus yang nggak boleh dimasuki sembarang orang. Bahkan, sudah ada larangan yang tertera, termasuk untuk bermain di sana.
"Kami sudah kunci semua akses ke bendungan. Kami gembok. Tapi, ada saja yang lewat dari Zona Umum (taman bendungan), lewat bawah. Mlipir. Sejak viral memang yang datang banyak, susah ngasih tahunya,” keluhnya.
Bayu pun bercerita, sore sebelumnya dia sempat mendapati seorang peselancar yang nyaris tenggelam di penapung air di sisi mercu bending yang kedalamannya mencapai dua meter. Dia selamat karena berhasil meraih tangga. Maka, dia berpesan agar nggak menjadikan tempat itu sebagai destinasi wisata.
“Kesannya jadi tempat wisata, padahal bukan. Perlu ada yang menjelaskan bahaya bermain di mercu,” tegasnya.
Sebagai penjaga pintu air, tujuan Bayu tentu saja demi keselamatan para pengunjung Bendungan Pleret. Gimana menurut kamu, Millens? (Murjangkung/E03)