Inibaru.id - Bagas Surya tengah sibuk memulas bedak di wajahnya ketika saya memasuki ruang rias di dalam Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Kota Semarang, Sabtu beberapa waktu silam. Dia adalah salah seorang pemain wayang orang dalam kelompok Ngesti Pandowo.
Malam itu, lelaki 26 tahun ini akan memerankan Cakil, sosok antagonis dalam lakon Aji Narantaka. Sembari tetap merias wajah, Bagas mengatakan, dirinya telah bergabung dengan Ngesti Pandowo sejak 2014. Hampir tiap Sabtu dia dan kawan-kawannya masih rutin manggung di TBRS.
Oya, untuk yang belum tahu, Ngesti Pandowo adalah kelompok seniman wayang orang legendaris yang rutin bermain di TBRS Semarang. Kelompok ini didirikan oleh Ki Sastro Sabdo, anggota kelompok wayang Sadyo Wandowo dari Surabaya. Ngesti Pandowo manggung kali pertama di Madiun pada 1937.
Di tengah gempuran budaya modern yang lebih beragam, Ngesti Pandowo masih rutin menggelar pergelaran di TBRS Semarang. Kendati saban manggung tribun nggak pernah penuh terisi, antusiasme para pemain dan tim pendukung tampak nggak hilang dari diri mereka, termasuk Bagas.
Belajar Banyak Hal
Bagas telah hampir sedekade bergabung dengan Ngesti Pandowo. Dia bertahan dengan kalompok wayang orang tersebut karena di tempat ini dia bisa mempelajari banyak hal, mulai dari seni peran, tari, suara, dan lain-lain.
Menurutnya, menjadi pemain wayang orang nggak sesederhana yang orang-orang lihat. Banyak yang harus dipelajari. "Sutradara biasanya hanya membuat ringkasan cerita dan sedikit memberi arahan. Selebihnya, para pemain dituntut kreatif sendiri-sendiri saat berada di atas panggung," terangnya.
Selesai dengan riasannya, Bagas pun bercerita tentang pengalaman pahitnya saat manggung bersama Ngesti Pandowo. Kala itu, dia dan kawan-kawan hanya ditonton oleh tiga orang. Namun, pertunjukkan tetap digelar dengan mereka menampilkan pertunjukan sebaik mungkin.
"Sedih, sudah pasti. Mau gimana lagi?" ungkap Bagas. "Tapi, masih lebih banyak senangnya, kok. Saya bisa pentas ke berbagai kota dan dapat pengalaman berharga."
Banyak Bangku Kosong
Sekitar pukul 20.30 WIB, saya sudah duduk di tribun penonton ketika lampu panggung mulai dimatikan dan tetabuhan dimainkan. Pertunjukan wayang orang sudah dimulai, tapi masih banyak bangku yang nggak terisi.
Dari deretan 100 tempat duduk yang tersedia, hanya sekitar 22 bangku yang ditempati, padahal pertunjukan hari itu berlangsung sangat mewah dan meriah. Ketua Ngesti pandowo Djoko Mulyono mengatakan, itu sudah biasa. Sekarang ini dia sudah nggak berani berharap pada hasil penjualan tiket.
"(Hasil penjualan tiket) Nggak pernah nutup biaya produksi. Kalau ibarat perusahaan, kami ini nonprofit. Dengan modal semangat para pemain, kami harus tetap eksis menggelar pertunjukkan," terang Djoko, sejenak menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Tapi kami pernah jadi primadona, lo!"
Dia pun bercerita, Ngesti Pandowo mengawali pertunjukan dengan manggung berpindah-pindah di pasar malam di Jawa Timur sejak 1937 dan menapaki kesuksesan nggak lama kemudian. Namun, pergolakan pascakemerdekaan Indonesia membuat mereka vakum selama lima tahun.
Hijrah ke Jawa Tengah
Pada 1950, Ngesti Pandowo mulai naik ke permukaan dan memutuskan untuk hijrah ke Jawa Tengah, lalu manggung di pasar malam Stadion Diponegoro, Kota Semarang. Seiring berjalannya waktu, Djoko mengenang, mereka dipanggil Wali Kota Semarang dan ditawari tempat agar nggak berpindah-pindah.
"Kami diberi fasilitas untuk menetap di Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) dari 1954 sampai 1994. Setelah itu kami pindah ke kompleks TBRS sampai sekarang," paparnya.
Kelompok wayang yang berkali-kali diundang ke Istana Negara, baik semasa Presiden Sukarno maupun Soeharto, tersebut, Djoko melanjutkan, sempat dapat bantuan biaya operasional dari APBD Semarang. Namun, pembiayaan itu dihentikan pada 2014.
"Jadi, sekarang (pembiayaan) kami benar-benar mandiri, meski penjualan tiket sedikit. Alhamdulillah, kami masih banyak terima job dari luar untuk menopang ekonomi para pemain," kata dia.
Beradaptasi dengan Zaman
Djoko mengungkapkan, Ngesti Pandowo bukannya nggak pernah melakukan perubahan untuk beradaptasi dengan zaman. Salah satunya dengan mempersingkat waktu pertunjukan nggak lebih dari dua jam.
"Kami menyadari, generasi sekarang nggak bakal betah nonton wayang dalam durasi yang sangat panjang, karena itu Ngesti Pandowo mempersingkat waktu pertunjukan," terang dia.
Selain itu, dia mengimbuhi, Ngesti Pandowo juga berusaha menggaet penonton dari luar negeri dengan memberikan sinopsis pertunjukan dan subtitle dalam bahasa Inggris.
"Kami memasang layar LCD di panggung untuk menampilkan sinopsis dan jalan cerita yang kami mainkan dalam bahasa Inggris. Tujuannya agar turis asing yang nonton bisa menikmati pertunjukan dengan nyaman," tandasnya.
Sedih sekali menyaksikan deretan bangku kosong di tengah pertunjukan Ngesti Pandowo malam itu. Semoga mereka bertahan dan orang-orang tahu bahwa, seperti tagline mereka sekarang, yakni "Ngesti Pandowo Masih Ada" Dukung mereka dengan datang ke sini, yuk! (Fitroh Nurikhsan/E03)