BerandaFoto Esai
Senin, 11 Feb 2024 09:00

Pengabdian Suku Badui, Hidup dan Mati untuk Menjaga Kelestarian Bumi

Hidup untuk menjaga alam, mati pun langsung menyatu dengan bumi. Begitulah masyarakat Badui menjalani keseharian mereka. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Suku Badui yang tinggal di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten tidak bisa dipisahkan dari alam. Hidup dan mati mereka adalah pengabdian untuk menjaga kelestarian bumi.

Inibaru.id - Masyarakat Badui sudah lama dikenal memiliki ikatan yang sangat kuat dengan alam. Sejak mereka dilahirkan, Urang Kanekes, sebutan lain Suku Badui, memang telah diajari untuk selalu mengabdikan diri sebagai penjaga hutan, khususnya di Pegunungan Kendeng yang ada di sisi selatan Provinsi Banten.

Yap, mereka memang telah ratusan tahun mendiami hutan ulayat seluas 5.101 hektare tersebut. Negeri ini juga telah "menyerahkan" penjagaan tanah ulayat itu kepada Suku Badui, termasuk pengelolaannya yang diawasi oleh hukum adat.

Kedekatan orang Kenekes dengan alam ini tampak jelas dari kelestarian hutan yang terjaga dengan baik dan keselarasan hidup mereka yang jauh dari ingar-bingar perkotaan yang acap disebut sebagai modernitas. Saya yang baru kali pertama berkunjung ke permukiman mereka pun dibuat takjub dengan keseharian mereka yang begitu bersahaja.

Oya, bagi saya yang biasa tinggal di perkotaan, menempuh perjalanan menuju permukiman Badui Luar (Urang Penamping) nggak bisa dikatakan mudah. Begitu tiba di Terminal Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, saya harus berjalan kaki sekira dua jam untuk tiba di Kampung Gajebo.

Terminal Ciboleger adalah "pintu masuk" menuju permukiman Badui. Saya harus jalan kaki menelusuri jalan bebatuan, sesekali menanjak dan menurun, untuk mencapai Kampung Gajebo yang merupakan tempat tinggal masyarakat Badui Luar.

Fanatisme terhadap Lingkungan

Permukiman Badui Luar sangatlah sederhana. Semua rumah berbentuk panggung yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan bambu dan beratap daun kirai atau ijuk. Mereka punya fanatisme yang tinggi terhadap lingkungan, karena itulah pantang merusak alam.

Hal ini sesuai dengan ajaran Sunda Wiwitan yang mengajarkan bahwa alam adalah sesuatu yang diagungkan dan wajib dijaga keutuhannya. Selama ratusan tahun, masyarakat Badui memengang filosofi, "Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, buyut teu meunang dirobah (Gunung dan lembah tidak boleh dirusak serta tidak boleh mengubah peninggalan)".

"Badui ada sejak kanjeng Nabi Adam turun ke bumi. Kami dari dulu di sini, tidak pernah lari atau pindah-pindah. Kehidupan kami berdasarkan ajaran leluhur," tutur Karmain, salah satu tokoh Badui Dalam yang saya temui saat tiba di Kampung Gajebo.

Menurut Karmain, keberadaan orang Badui memang ditugaskan untuk menjaga alam. Urang Tangtu, sebutan lain orang Badui Dalam, bahkan ditugasi untuk bertapa di dunia. Maksudnya, tiap aktivitas mereka nggak boleh menyakiti alam.

"Kami sebenarnya butuh kayu buat bangun rumah, tapi kami ingat kelestarian alam," ujar Karmain. "Alam juga banyak ditinggali makhluk tak kasat mata, jadi kami harus menjaganya sebagai tempat tinggal semua makhluk".

Mengandalkan Bahasa Lisan

Ajaran untuk menjaga aturan desa disampaikan masyarakat Badui hanya dengan mengandalkan bahasa lisan. Petuah apa pun diturunkan dari mulut ke mulut. Tiap tiga bulan, semua orang dikumpulkan untuk mendengar titah dari tokoh adat serta menyamakan persepsi semua orang agar nggak menyimpang.

Untuk menegakkan aturan adat, mereka memasukkan orang-orang yang dituakan sebagai "pejabat" desa, dengan jabatan tertinggi adalah Pu'un (kepala adat) dan Seurat (wakil kepala).

Di bawahnya ada Jaro Tangtu yang menindak pelanggaran hukum adat dan Baresan Salapan (dewan penasihat) yang bertugas mempertimbangkan kegiatan-kegiatan masyarakat Badui selama setahun.

Kendati menyandang predikat pejabat desa, mereka nggak tampak diistimewakan. Dalam keseharian, mereka memang tetap setara. Mereka juga pergi ke ladang, menghidupi keluarga, dan mengenakan pakaian yang sama dengan warga lainnya.

"Tidak ada pembeda atau ciri khas kalau dia seorang Pu'un. Semua masyarakat Badui seragam karena aturan adatnya sudah seperti itu," ungkap Karmain.

Nggak Memiliki Permakaman

Satu hal yang membuat saya terkejut saat berkunjung ke permukiman ini adalah ketiadaan permakaman di sana. Saat seorang Badui meninggal, jenazahnya akan dikubur setelah dimandikan dan dikafani. Namun, bekas kuburan itu pada akhirnya akan dimanfaatkan kembali untuk lahan pertanian.

Karmain mengatakan, prosesi penghormatan jenazah di Badui berangsur selama tujuh hari. Setelahnya, jenazah dianggap sudah menyatu dengan alam. Pihak keluarga juga nggak akan menyambangi kuburan tersebut untuk berziarah.

"Kalau tujuh hari setelah penguburan masih ada, berarti (jenazah) tidak diterima alam. Harus ada ritual lagi. Tapi jarang kejadian yang seperti itu," tukas Karmain.

Menarik sekali menyaksikan masyarakat Badui yang berkelindan erat dengan alam. Seumur hidup mereka menjaganya, saat meninggal pun langsung menyatu dengannya. Kalau semua orang menerapkan prinsip ini, kira-kira bumi bakal seindah apa ya? (Fitroh Nurikhsan/E03)

Masyarakat Badui Luar tidak sedikit yang berprofesi sebagai penjual aneka aksesori dan produk fesyen.
Pintu masuk menuju permukiman masyarakat Badui Luar yang berada di Desa Kanekes.
Tamu yang akan menginap di permukiman Badui Luar harus terlebih dahulu meminta izin ke Kepala Desa setempat.
Untuk mandi masyarakat Badui Dalam biasanya masih menggunakan daun honje. Sedangkan Badui Luar sudah diperbolehkan menggunakan sabun.
Saat malam tiba, permukiman Badui Dalam maupun Luar akan minim penerangan.
Banyak ditemukan sumber mata air bersih yang dapat diminum langsung tanpa perlu dimasak di permukiman Badui Luar.
Di tengah lingkungan yang masih asri, masyarakat Badui Luar tampak hidup bersahaja dalam rumah-rumah dari kayu beratap rumbia.
Salah satu jembatan kayu yang jadi penghubung peemukimam Badui Luar dengan Dalam.
Seorang warga Badui Luar sedang mengumpulkan batang pohon yang sengaja dialirkan lewat sungai untuk dijadikan kayu bakar.
Rumah penduduk Badui Dalam dan Luar mayoritas beratap daun kirai dan ijuk.

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024