Inibaru.id - Suku Badui atau Urang Kanekes hidup berdekatan dengan alam. Seperti sepasang kekasih, mereka dan alam adalah dua hal yang saling menjaga, dan nggak bisa dipisahkan.
Seperti yang kita tahu, Suku Badui sudah ratusan tahun mendiami pedalaman kawasan Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara garis besar, Suku Badui terbagi atas dua kelompok, yakni Badui Luar dan Badui Dalam. Mereka masih berpegang teguh dengan ajaran leluhur serta berpijak pada aturan adat.
Sayangnya, meski selalu hidup bermesraan dengan alam, perkampungan Suku Badui yang dikelilingi hutan lebat, aliran sungai, dan pegunungan itu tidak serta merta terbebas dari ancaman bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Salah satu tokoh adat Suku Badui Dalam, Karmain, menyebut pemukiman Suku Badui pernah diterjang bencana banjir bandang sebanyak dua kali. Teranyar, bencana banjir bandang terjadi bulan September tahun 2022.
"Sepertinya banjir bandang ini permasalahannya adalah ada alam yang berdekatan dengan wilayah Kanekes yang dirusak. Karena kami selalu memelihara hutan supaya utuh, lestari dan aman," ucap Karmain.
Selain banjir bandang, pemukiman Badui juga pernah dilanda bencana tanah longsor di wilayah Desa Nungkulan. Karmain menyakini, bencana tersebut dikarena adanya aktivitas tebang tanam pohon kayu.
"Orang luar lagi yang nebang. Orang Badui tidak boleh (menebang pohon) kecuali untuk kebutuhan rumah-rumah sesepuh adat. Tapi kalau ada uang diusahakan untuk membeli kayu dari luar," jelas Karmain.
Prihatin dengan bencana-bencana yang melanda, lelaki yang menjabat sebagai juru bicara Suku Badui itu meminta seluruh pihak untuk menjaga alam dengan baik. Dia berharap masyarakat sadar selama ini alam sudah bersedia menjadi ruang hidup untuk manusia.
"Kami masyarakat adat Kanekes menjaga alam karena amanat dari leluhur. Kenapa alam harus dijaga? Sebenarnya bukan untuk kami tapi untuk seluruh umat manusia," ungkapnya saat menjadi pemateri soal bencana Badui dalam kegiatan pelatihan jurnalisme warga bersama Asia Pasific Alliance For Disaster Management (A-PAD) Indonesia belum lama ini.
Target Penambangan
Selaras dengan Karmain, Kepala Bidang Ekraf Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Rohaendi membenarkan bencana yang terjadi di pemukiman Badui seperti banjir bandang tidak diakibatkan oleh aktivitas Suku Badui. Dirinya tahu betul Suku Badui tidak akan berani melanggar aturan adat.
Lelaki berusia 53 tahun ini kemudian mengungkapkan aktivitas penambangan liar di Gunung Liman-lah yang jadi penyebab utama pemukiman Badui sampai dua kali diterjang banjir bandang.
"Hulu Sungai Ciujung ini berada di Cikeusik. Di sana banyak eksploitasi dan pertambangan liar. Jujur saja kalau ngomong tambang emas dan sebagainya, nanti orang-orang tambang pasti tahu apa itu Badui," kata Rohaendi.
Rohaendi lalu menceritakan kejadian beberapa waktu lalu. Dia melihat tetua adat Suku Badui melakukan protes atas perusakan Gunung Liman. Banyak dari mereka, termasuk ayah Karmain menangis.
"Setelah diinvestigasi, bukan warga Badui yang merusak. Ayah (Karmain) beserta para Badui Dalam lainnya menangis melihat gunung yang dijaga selama ini tiba-tiba hancur oleh penambangan liar," ceritanya.
Oleh sebab itu, sebagai pemangku kebijakan, Rohaendi tidak akan membiarkan siapapun merusak tatanan alam yang sudah dijaga dengan baik oleh Suku Badui.
Ya, Suku Badui telah mengajarkan kepada kita bagaimana manusia bisa tetap hidup tanpa merusak pohon dan mencemari sungai. Jika mereka bisa, kita juga bisa, kan? Maka, janganlah menjadi pihak yang merusak alam dan membuat bumi menjadi makin sakit. Sepakat, Millens? (Fitroh Nurikhsan/E10)