BerandaFoto Esai
Senin, 23 Jan 2022 09:00

Gulma Rawa Pening yang Dijual hingga Negeri Asing

Untuk mengurangi invasi eceng gondok, gulma air yang menyebar begitu cepat di Rawa Pening, Firman Setyaji mengubahnya menjadi produk kerajinan tangan yang dijual hingga negeri asing.

Inibaru.id – Eceng gondok (Eichhornia crassipes) acap dianggap gulma karena cepat berkembang dan berpotensi menginvasi lahan, khususnya yang tergenang air. Namun, alih-alih dibasmi, tumbuhan air yang hidup mengapung ini justru dijadikan penopang hidup oleh Firman Setyaji.

Dengan keterampilannya, lelaki 30 tahun asal Kabupaten Semarang tersebut berhasil mengubah eceng gondok menjadi kerajinan tangan bernilai jual tinggi. Hasil kreasi tersebut saat ini bisa dengan mudah kamu temukan di Bengok Craft, gerai sekaligus workshop yang didirikan di rumahnya.

Oya, di Kabupaten Semarang, masyarakat setempat menyebut eceng gondok sebagai benguk atau bengok. Sejatinya, bengok adalah istilah untuk penyakit gondong atau gondok, inveksi virus yang memengaruhi kelenjar ludah. Namun, istilah yang sama juga berlaku untuk eceng gondok.

Itulah kenapa Firman menamai usaha yang digelutinya sejak 2019 itu sebagai Bengok Craft atau kerajian tangan berbahan eceng gondok. Di rumah pemuda lulusan Kriminologi Universitas Indonesia itu, kamu dijamin bakal takjub dengan pelbagai kerajinan bahan utama eceng gondok buatannya.

Firman nggak mengerjakan semua kerajinan itu sendiri. Di rumahnya, dia dibantu sekitar 15 pengrajin dan penjahit untuk menggarap berbagai kreasi seperti sandal, jaket, topi, tas, baki, perabot dapur, vas bunga, hingga tempat tisu.

Alhamdulilah sudah dibantu sekitar 15 orang. Semuanya warga setempat yang sama sekali nggak kenal dengan saya,” ungkap Firman di rumahnya yang berlokasi di Kelurahan Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Selasa (18/1/2022).

Berawal dari Kekhawatiran

Nasib orang nggak ada yang tahu, tapi kegigihan selalu membuahkan hasil. Mungkin, pameo inilah yang paling tepat disematkan untuk Firman. Hingga kini, dia mengaku masih nggak menyangka bakal dikenal orang sebagai pengrajin eceng gondok yang terbilang cukup sukses.

Perjodohan Firman dengan eceng gondok semula hanyalah berawal dari rasa khawatir. Sembilan tahun merantau di ibu kota, dia kembali ke kampung halaman dan merasa gundah melihat tumpukan eceng gondok yang memenuhi permukaan Rawa Pening, danau alami yang menjadi sumber penghasilan masyarakat Tuntang dan sekitarnya.

“Eceng gondok yang menumpuk di Rawa Pening itu kalau dibiarkan akan berdampak buruk untuk ekosistem lingkungan sekitarnya," kenang lelaki yang kini mulai menjual produk-poduknya ke berbagai negara itu.

Dari situlah dia mulai memikirkan solusinya, lalu tercetuslah ide untuk mengantisipasi invasi tersebut dengan memanfaatkan gulma eceng gondok agar bernilai guna, sekaligus memberi pekerjaan untuk masyarakat setempat.

"Hidup yang baik itu bisa memberikan energi positif untuk lingkungan sekitar, termasuk (mendirikan Bengok Craft) ini," aku Firman sembari menunjukkan ruang kreatifnya yang dipenuhi produk berbahan eceng gondok.

Merambah Pasar Mancanegara

Dalam merintis Bengok Craft, Firman benar-benar memberdayakan masyarakat setempat, mulai dari petani, penjahit, hingga pengrajinnya. Butuh waktu sekitar satu tahun untuk dirinya mengembangkan bisnis hingga mampu merambah pasar mancanegara.

Saat ini, selain dijual di Indonesia, produk eceng gondok buatannya telah terjual ke sejumlah negara, di antaranya Jepang, Singapura, Dubai, dan Italia. Sementara itu, di Tanah Air dia juga mulai menjajaki kerja sama dengan sejumlah institusi, termasuk Bank Mandiri dan Bank Indonesia.

“Kerja sama (dengan Bank Mandiri dan Bank Indonesia) ini bikin kami bisa ikut pameran ke luar negeri; ada juga yang sistemnya titip jual atau konsinyasi," terangnya seraya menyibak rambutnya yang agak gondrong. "Sebulan bisa ada 30 transaksi, tiap transaksi terjual sekitar lima produk.”

Menurut Firman, produk buatannya bisa berdaya di luar negeri karena bahan bakunya cukup unik dan sangat jarang ditemukan di sana. Hasil olahan eceng gondok, lanjutnya, nyaman dipakai, nggak mudah putus, dan jarang berjamur. Harganya juga cukup terjangkau.

"Kami jual produk mulai dari Rp 10 ribu untuk gelang hingga ratusan ribu untuk tas dan jaket," akunya.

Berpegang pada Kualitas

Kendati membanderol produk-produknya dengan harga yang lumayan nyaman di kantong, Firman nggak pengin mengorbankan kualitas. Dia mengaku selalu mengontrol produk buatan Bengok Craft untuk menjamin kualitas terbaik agar pembeli tergiur untuk kembali.

Hal tersebut diakui oleh salah seorang pelanggan setia Bengok Craft, yakni Ria Rahmawati. Salah satu produk yang sangat disukainya adalah sandal berbahan eceng gondok. Selain unik bentuknya, dia juga memuji kreativitas pada produk tersebut.

“Kalau pakai sandal dengan bahan lain yang umum di pasaran kan rasanya jenuh juga,” ungkap Ria yang mengaku merasa nyaman dengan tekstur eceng gondok yang empuk pada permukaan sandal yang dibelinya.

Ria mengungkapkan, dia merasa tampil lebih percaya diri mengenakan produk berkualitas tersebut. Dia bahkan merasa bangga karena bisa tampil dengan produk lokal berkualitas ekspor ini.

Yap, seperti kata Firman Setyaji, hidup yang baik memang harus bisa memberikan energi positif untuk orang lain. Kalau kamu, energi positif apa yang saat ini sedang berusaha kamu salurkan, Millens? (Triawanda Tirta Aditya/E03)

Sosok Firman Setyaji, owner Bengok Craft.
Beberapa contoh produk hasil olahan eceng gondok yang dibuat di Bengok Craft.
Sandal berbahan eceng gondok menjadi salah satu produk yang cukup laris manis di Bengok Craft.
Proses pembuatan kerangka salah satu produk eceng gondok di Bengok Craft.
Tampilan depan rumah Firman Setyaji.
Petani sedang mengeringkan eceng gondok di Rawa Pening.
Salah satu pengrajin sibuk membuat tas dari eceng gondok.
Proses pembuatan kerangka salah satu produk eceng gondok.
Landskap udara yang menunjukkan tumpukan eceng gondok di sekitar Rawa Pening.
Beberapa contoh produk hasil olahan eceng gondok yang dibuat Bengok Craft.

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024

Sepenting Apa AI dan Coding hingga Dijadikan Mata Pelajaran di SD dan SMP?

12 Nov 2024

Berkunjung ke Dukuh Kalitekuk, Sentra Penghasil Kerupuk Tayamum

12 Nov 2024

WNI hendak Jual Ginjal; Risiko Kesehatan Apa yang Bisa Terjadi?

13 Nov 2024

Nggak Bikin Mabuk, Kok Namanya Es Teler?

13 Nov 2024

Kompetisi Mirip Nicholas Saputra akan Digelar di GBK

13 Nov 2024

Duh, Orang Indonesia Ketergantungan Bansos

13 Nov 2024

Mengapa Aparat Hukum yang Paham Aturan Justru Melanggar dan Main Hakim Sendiri?

13 Nov 2024