Inibaru.id – Di Kota Semarang ada Simpang Lima. Yogyakarta juga punya Alun Utara dan Alun-Alun Selatan. Di kota-kota lain, juga ada alun-alun yang menjadi pusat keramaian. Sebenarnya, mengapa hampir selalu ada alun-alun di kota-kota yang ada di Jawa, sih?
Alun-alun di Indonesia biasanya berupa lapangan berbentuk segi empat yang luas dan dikelilingi jalan raya. Lapangan ini ditumbuhi rumput hijau dengan tambahan sejumlah pohon besar. Di sekitar alun-alun, terdapat sejumlah bangunan pemerintahan atau pusat ekonomi. Biasanya, area ini jadi ruang publik yang ramai di akhir pekan.
Jika kita merujuk pada makalah dengan judul Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa yang dibuat oleh Handinoto dan dipublikasikan dalam jurnal Dimensi, pada 18 September 1992 lalu, perkembangan alun-alun di Indonesia bisa dibagi menjadi 3 periode.
Yang pertama adalah alun-alun pada masa pra-kolonial alias saat Nusantara masih dalam bentuk kerajaan, lalu masa kolonial, dan era pasca-kolonial alias setelah Indonesia merdeka.
Alun-alun pada masa pra-kolonial
Konsep alun-alun sudah dikenal Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Hal ini dibuktikan dengan disebutkannya dua alun-alun di utara komplek kraton dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Alun-alun dengan nama Waguntur sering dipakai untuk keperluan kerajaan seperti penobatan atau penerimaan tamu dari kerajaan lain, sementara Alun-alun Bubat lebih sering digunakan sebagai lokasi pesta rakyat.
Alun-alun pada masa kolonial
Berdasarkan artikel Kompas.id, (3/1/2023) berjudul Ruang Publik Bernama Alun-alun, terungkap bahwa setelah Majapahit runtuh, Kesultanan Demak berdiri pada 1476. Periode kerajaan Hindu-Buddha pun berganti menjadi periode kerajaan Islam. Menariknya, Kesultanan Demak tetap mengadopsi adanya alun-alun di pusat pemerintahannya.
Di sekitar alun-alun, bangunan-bangunan pemerintahan didirikan. Ada pula pasar dan masjid. Khusus untuk masjid, bangunan ini menggantikan tempat ibadah Hindu-Buddha sebagaimana alun-alun pada periode kerajaan sebelumnya.
Keunikan lain dari alun-alun pada masa Kesultanan Demak adalah adanya dua pohon beringin di tengah-tengah lapangan. Konsep ini kemudian diikuti Kerajaan Mataram Islam. Bahkan, sampai sekarang, masih banyak alun-alun di kota di Pulau Jawa yang memiliki dua pohon beringin.
Kala Belanda menguasai Nusantara, bangunan di sekitar alun-alun bertambah. Ada rumah perangkat seperti bupati, residen, dan lain-lain. Ada juga pendopo, penjara, gereja, bahkan benteng. Di sejumlah kota, ada juga kawasan pecinan dan kauman yang memang diatur agar nggak jauh dari alun-alun tersebut.
Alun-alun pada masa pasca-kemerdekaan
Karena perkembangan kota dan peningkatan jumlah penduduk, banyak kota atau kabupaten yang menambah jumlah alun-alun di wilayahnya. Tujuannya tentu demi menambah ruang publik dan pusat ekonomi bagi masyarakat.
Oleh karena itulah, wajar jika Kota Semarang punya Simpang Lima dan Alun-alun di dekat Pasar Johar. Hal ini terjadi juga di kota-kota lain di Pulau Jawa.
Kalau di kotamu, apakah kondisi alun-alunnya cukup baik sehingga enak untuk dijadikan tempat nongkrong, Millens? (Arie Widodo/E05)