Inibaru.id - Jam menunjukkan pukul 4 sore ketika saya tiba di lokasi kegiatan literasi Maring di Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang beberapa hari lalu. Di bagian tengah area kampung budaya itu, berdiri megah sebuah pendopo besar yang dipenuhi banyak orang.
Pendopo beratap joglo itu diisi banyak meja besar yang di atasnya tersusun ratusan buku dengan diskon besar-besaran. Banyak pula karya lukis yang dipajang di sana. Sedang di pojok pendopo, nampak beberapa orang tengah asyik mengikuti acara diskusi bersama.
Kerusakan Lingkungan di Semarang
Ada satu spot yang menarik perhatian saya dalam acara yang diadakan Maring Institut dengan BEM KM Unnes itu. Nggak jauh dari tempat diskusi, ada banyak foto tentang transisi ekosistem perkotaan Semarang yang berfokus pada kerusakan lingkungan.
“Semarang itu sejarahnya makin tergerus, mbak. Selain karena rombakan industrialisasi, iklim masyarakat di Semarang itu iklim kerja, bukan iklim diskusi macam Jogja,” jelas Dira, ketua panitia yang saya temui di sela-sela kesibukannya mengatur acara.
Perempuan bernama lengkap Adetya Pramandira ini menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di Semarang ini adalah masalah krusial yang harus diperhatikan. Apalagi dengan perubahan tata ruang di Semarang, lingkungan menjadi korban yang meprihatinkan.
“Kami juga memajang 12 karya lukis dari Dewan Kesenian Semarang yang juga mengangkat isu kerusakan lingkungan,” terang Dira.
Sejarah Gerakan di Semarang
Pada pameran transisi kota Semarang itu, ada spot lain yang nggak kalah menarik. Dengan backdrop hitam, terlihat beberapa foto dokumentasi tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru. Ya, dokumentasi pengasingan tahanan politik itu memang disajikan agar para pengunjung nggak lupa dengan sejarah.
“Kami mencoba berani untuk menyajikan sejarah dengan benar, mbak” tegas perempuan yang masih duduk di bangku perkuliahan itu.
Event literasi dan seni ini memang terbilang sangat berani menyuarakan isu-isu sejarah yang sensitif. Hal ini juga bisa dilihat dari pemilihan tema acara “Sejarah Gerakan Semarang 1916-1965” yang banyak menuai penolakan.
“Tahun-tahun itu adalah fase Semarang Merah. Memang itu isu sensitif, tapi sejarah itu selalu dihilangkan,” jelas Dira.
“Kami ingin mendiskusikan isu-isu ini dalam tataran akademis. Biar orang-orang juga nggak takut membahas itu,” imbuhnya.
Kenapa Maring?
Maring, yang digunakan sebagai nama kegiatan ini, juga nggak sembarang dipilih. Dira mengaku bahkan mengundur acara yang harusnya dilaksanakan Desember tahun lalu hanya karena kesusahan mencari nama acara yang pas.
“Kami memilih nama Maring sebagai nama event. Diambil dari seorang tokoh Semarang yang memiliki kontribusi soal literasi dan banyak gerakan di Semarang, terlepas dari ideologinya,” tutur Dira.
Sebagai informasi, Maring adalah nama perjuangan dari seorang Belanda bernama asli Henk Sneevliet. Menurut Dira, tokoh ini salah satu yang membesarkan Semarang dan memunculkan gerakan-gerakan untuk meraih kemerdekaan waktu itu.
“Semarang punya tokoh dan kita angkat saja jadi nama event ini,” tandasnya.
Nah, sebagai generasi muda, kita patut mencontoh semangat teman-teman Maring ini dalam menyuarakan sejarah dan isu lingkungan yang mulai terabaikan. Semoga makin banyak acara yang membuat wawasan kita semakin bertambah. (Rizki Arganingsih/E10)