Inibaru.id – Linimasa di media sosialku belakangan ini lagi banyak banget yang ngunggah pengalaman mereka saat naik gunung. Namun, yang bikin heran, di antara foto dan video teman-teman lagi mendaki itu, tampaknya nggak banyak yang sharing pengalaman saat nge-camp.
Penasaran, aku pun sempat tanya ke beberapa teman. Jawaban mereka pun sama, yakni mereka memang sengaja nggak bermalam di puncak agar bisa naik-turun gunung dalam sekali jalan. Untuk yang belum tahu, gaya naik gunung seperti itu dikenal dengan istilah "tektokan".
Pertanyaanku selanjutnya, apa nggak capai mendaki gunung dengan cara itu? Alih-alih mendapatkan jawaban, seorang teman malah mengajakku mempraktikkannya langsung.
Dengan pengalaman mendaki yang sangat minim, rasa penasaran akhirnya membawaku mencoba tektok gunung pertamaku ke Puncak Songolikur, titik tertinggi Gunung Muria. Gunung yang memuncaki Jepara, Kudus, dan Pati nggak terlalu tinggi sehingga bisa ditempuh naik-turun dalam sehari.
Alasan Memilih Tektok
Dengan kemampuan seadanya, aku berhasil naik-turun Muria dalam sehari tanpa bermalam di puncak. Terasa capai hingga berhari-hari setelahnya, tapi jujur aku merasa sangat puas. Sembari menceritakan pengalamanku di media sosial, aku pun melontarkan pertanyaan: Kalian lebih memilih tektok apa ngecamp dan kenapa?
Cukup banyak respons yang kuterima, tapi yang paling umum adalah karena masalah waktu. Karena hanya memiliki waktu libur pada akhir pekan, mereka bilang, pilihan yang paling masuk akal tentu saja adalah tektokan.
Isa, misalnya, mengaku pernah tektok Gunung Sumbing hanya bermodalkan nekat. Pernyataan ini tentu saja cukup membuatku kaget, mengingat gunung yang mengatapi tiga kabupaten, yakni Magelang, Temanggung, dan Wonosobo itu lumayan tinggi, sekitar 3.300-an mdpl.
Gunung Muria yang hanya setinggi 1.600-an mdpl sudah cukup melelahkan bagiku, apalagi Gunung Sumbing yang lebih dari dua kali lipatnya? Ketika kutanyakan kepada Isa, dia hanya menjawab dengan emot tawa.
“Mau gimana lagi? Nggak ada waktu buat ngecamp, karena besoknya harus kerja,” tulis Isa via DM Instagram. “Naik-turun sekitar 12 jam lebih. Capek! Nggak rekomen buat yang persiapan fisiknya kurang!”
Praktis dan Lebih Hemat
Karena sangat menguras tenaga, tektok memang nggak disarankan untuk gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000-an mdpl. Inilah yang disarankan Andika Usman. Lelaki yang biasa kusapa Mas Us ini memang cukup sering tektok gunung.
"Aku lebih suka tektokan karena praktis dan hemat," tutur pemuda asal Magelang yang beberapa kali tektok di Gunung Andong yang dekat dengan rumahnya ini. "Bulan lalu, kali terakhir aku naik Andong banyak barengan, tapi sedikit yang ngecamp. Kebanyakan tektok."
Jika harus menginap, Mas Us mengungkapkan, dia harus sewa alat karena belum punya sendiri. Kebutuhan logistik selama pendakian juga lebih banyak. Belum lagi kebutuhan lain yang cukup membebani. Meski banyak alat mendaki yang murah, menurutnya tetap akan lebih murah jika tektokan.
"Kalau naik Gunung Andong yang dekat dengan rumah memang lebih praktis dengan tektokan. Alasan utamanya karena hemat, sih!" kata dia.
Sulit Mengejar Sunrise
Menurut Mas Us, mendaki gunung bukan hanya tentang ketahanan fisik. Biaya pendakian juga perlu menjadi pertimbangan. Selain logistik seperti konsumsi, kesehatan, dan P3K, perlengkapan mendaki juga perlu masuk perhitungan.
“Kalau di Andong, biaya simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) untuk tektok atau ngecamp sama. Namun, karena tektok nggak perlu sewa alat atau bawa logistik bermalam, cara ini jelas lebih hemat,” jelas pemuda 25 tahun itu.
Meski begitu, bukan berarti tektokan nggak punya kekurangan. Mas Us menyebutkan, kelemahan tektok adalah sulit untuk mengejar sunrise, kecuali benar-benar mempertimbangkan kapan waktu naiknya. Namun, menurutnya hal itu nggak menjadi masalah baginya karena dia nggak selalu mengejar matahari terbit.
“Kemarin aku naik emang nggak ngejar sunrise, apalagi cuaca lagi dingin-dinginnya. Jadi, tektok adalah cara yang paling masuk akal,” pungkasnya.
Berdasarkan penuturan teman-temanku, aku simpulkan bahwa nggak semua orang tektokan karena fomo, tapi lantaran menyesuaikan diri dengan bujet dan ritme keseharian yang nggak memungkinkan untuk menikmati pendakian selama berhari-hari. Menurutmu, adakah alasan lain? (Rizki Arganingsih/E10)
